Kegelapan masih membungkus malam ketika Biyan terjebak di Kabupaten Matari. Tempat itu lengang dan sunyi. Tidak ada gedung-gedung tinggi atau lampu kios-kios yang menyala dua puluh empat jam. Begitu jauh dari kebisingan. Begitu tenang. Sebagai gantinya, ada pabrik-pabrik bercerobong asap serta perkebunan melati yang membentang luas.
Pukul tiga pagi buta. Hamparan hitam di langit sulit dibedakan dengan lumpur yang mengendap di bahu jalan dekat pembuangan limbah pabrik Mata Aroma. Gara-gara minim penerangan lampu jalan ditambah kegelapan menyerupa jelaga, ban mobil Biyan sampai terperosok ke sebuah kanal dan tidak mampu berputar lagi. Biyan keluar dari mobil sembari membawa ponsel yang baterainya kritis. Dia berjalan memutari pabrik mencari pertolongan, berharap menemukan satu-dua satpam yang masih bertugas. Udara yang dingin terasa semakin menusuk kulit. Gabungan kemeja dan jaket denim yang dikenakan Biyan tidak cukup mampu melawan angin. Di sekelilingnya, hamparan kabut tipis terbang rendah membatasi pandangan.
Semakin jauh Biyan berjalan semakin dekat dia ke perkebunan Jasmine dan semakin tersingkap pula kabut yang menghalanginya. Tidak lama kemudian, dia pun menyaksikan pemandangan yang membuat bola matanya membelalak. Di hadapannya, puluhan orang dewasa melangkah gegas menuju perkebunan Jasmine. Masing-masing memiliki keranjang rotan di punggung dan lampu senter yang terikat di kepala. Mereka membawa serta anak-anak. Anak-anak yang belum mampu menyaingi tinggi punggung orang dewasa. Anak-anak di bawah umur. Tidak ada gemuruh obrolan di antara mereka seolah semua mulut telah dijahit. Hanya alas kaki mereka yang menciptakan derap samar yang tidak beraturan.
Biyan buru-buru menyalakan kamera ponsel, bertekad mengabadikan momen ganjil itu dan menjadikannya berita. Jari-jarinya sedikit gemetaran melawan udara dingin. Satu, dua, tiga... klik, dan baterai ponsel itu mendadak habis. Dia hanya berhasil merekam satu gambar, tidak jelas apakah manusia sungguhan atau hanya bayang-bayang.
***
Dinar ia bernama. Seorang perempuan muda bertubuh kurus-bungkuk, dengan rambut dicepol tinggi menggunakan karet gelang telah mengosongkan keranjangnya yang panen bunga dan daun melati. Ditemani anaknya, Mala, yang berumur 6 tahun, Dinar mampu memetik dua kilogram banyaknya. Jika sendirian, dia hanya mampu memanen satu setengah kilogram.
Embun yang menguapkan bau melati ke udara menghilang seiring naiknya matahari di cakrawala. Dinar segera menukar hasil kerjanya dengan uang tunai sebanyak 58 ribu. Dia berjalan kaki ke pasar terdekat sambil menggendong Mala yang mengantuk.
“Jangan digaruk,” kata Dinar saat Mala terus saja menggaruk mata.
“Gatal, Bu,” ujar Mala, lirih. Jari-jari bocah itu tidak kunjung berhenti mengucek mata kirinya. “Pedih, Bu,” katanya, nyaris menangis.
“Nanti kita beli obat, ya,” kata Dinar. Mala mengangguk.
Sesampai di pasar, tempat yang langsung dikunjungi Dinar adalah apotek, bukan kios sayur atau beras. Si pemilik apotek adalah seorang kakek-kakek yang masih bugar, tengah menyapu teras tokonya saat Dinar menampakkan muka.
“Kakek Andi...” panggil Dinar dengan suara memelas. “Mata Mala gatal lagi, Kek. Dia garuk terus. Jadi merah matanya.”
Kakek Andi meninggalkan sapu di depan pintu, tidak menyelesaikan pekerjaannya, lebih mengutamakan keperluan pelanggan. “Masuklah dulu,” katanya sambil mengayunkan tangan ke arah dalam ruko. “Sudah makan anakmu?”
“Belum.” Dinar menggeleng.
Kakek Andi berteriak ke pemilik ruko sebelah. “Nasi goreng dan teh panas dua, Des!” katanya. Lalu, dia memandangi Dinar kembali. “Masih kamu ajak Mala memetik melati?” tanyanya. Dinar pun menunduk rikuh tanpa berani menjawab. “Radang mata anakmu nggak akan sembuh kalau dia masih memetik melati malam hari,” ingatnya.
“Mau gimana lagi, Kek,” jawab Dinar. “Saya harus bawa anak kerja.”
“Masuklah dulu.” Kakek Andi mendorong pintu apotek hingga terbuka. “Saya teteskan obat mata untuknya.”
Dinar menurunkan Mala yang meronta dalam dekapannya. Mala menghampiri Kakek Andi, dan mendongak. “Aku dapat nasi goreng pakai telur kan, Kek?” tanyanya. Kakek Andi mengangguk singkat, tersenyum. Tangannya yang keriput mengelus rambut Mala dengan pelan. Sepasang mata tuanya mengkhawatirkan mata polos Mala yang merah dan bengkak.