Melati Jam Tiga Pagi

Lia Seplia
Chapter #2

02

“Gawrrr!!! Meooow.”

Sepasang kucing bertengkar di atap rumah. Perkelahian itu menghasilkan kegaduhan yang mampu membuat Dinar terbangun. Matanya yang masih memberat dan memerah membuka pelan-pelan, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya lampu. Perempuan itu menggaruk-garuk kepala. Mulutnya menguap lebar-lebar. Setelah sepuluh detik mematung, dia memutar pandangan dan melihat ke jam dinding: 02.38.

Dinar mengangkat tubuh. Punggungnya melengkung ke depan. Kepalanya merunduk. Kedua sikunya bertumpu di lutut. Sepasang tangannya mengusap-usap wajah yang masih kusut. Dia menoleh ke samping. Matanya mengerjap pelan, terpaku lama memandangi dua anggota keluarganya. Di atas kasur tipis beralas tikar yang digelar di lantai, anaknya dan ibunya terlelap. Dinar merapikan selimut keduanya, lalu perlahan berdiri dan berjalan ke dapur.

Dinar menjerang air, membuat tiga cangkir teh panas. Dia menyisakan dua cangkir di meja dapur setelah menyesap teh miliknya. Dinar masuk kamar mandi dan mencuci muka.

Dinar tinggal di rumah berdinding kayu, beratap seng, dan berlantai semen dengan air dari sumur tanah, yang dia sewa per bulan seharga tiga ratus ribu. Hanya punya satu kamar tidur, satu dapur, dan satu kamar mandi serta sedikit beranda. Sebab itu, dia harus menyisihkan pendapatannya untuk sewa rumah, biaya listrik, dan uang makan sehari-hari. Demi bertahan hidup, dia tidak boleh alpa bekerja. Lebih banyak tangan yang membantunya lebih baik.

Dinar keluar dari kamar mandi dan melihat ibunya sudah bangun. Ibunya di meja dapur, menghabiskan secangkir teh panas dalam beberapa kali teguk. Dinar mengambil keranjang rotan dari bawah meja, mengikat benda itu di punggungnya.

“Ibu ikut?” Dinar bertanya. Dia melihat ibunya mengangguk. “Kaki ibu sudah baikan?” Dia mengambil sebuah ikat kepala dari dalam laci rak-rak bumbu, memastikan lampu mungil yang terpasang di alat itu menyala, lantas mengikatnya di kepala.

“Aku sudah sehat,” kata ibunya, lalu melakukan hal serupa: memasang keranjang rotan dan lampu kepala. “Bangunkan Mala.”

Dinar kembali ke satu-satunya kamar tidur yang mereka punya di rumah itu. Dia merunduk di kasur. Jari-jarinya menepuk-nepuk pelan bahu Mala. “Bangun, Nak,” Dinar berbisik di telinga Mala. “Bangun... ikut ibu kerja,” katanya.

Mala membuka mata. Dia melihat ibunya, mengucek matanya, dan kembali tidur.

“Bangun, Mala...” Dinar menyibak selimut Mala. “Ayo, sudah mau jam tiga.”

Mala menguap lebar-lebar. Dengan malas-malasan bocah itu bangun.

Dinar memakaikan Mala jaket, kaus kaki, dan sarung tangan. Mala yang setengah mengantuk tidak berbicara sama sekali. Mala membiarkan ibunya memasangkan keranjang rotan di punggungnya, serta mengikatkan alat penerangan di kepalanya. Mala memakai topi dan sepatu. Ibunya memberinya secangkir teh panas, yang tidak dia habiskan.

“Ayo,” Dinar memegangi tangan Mala, menuntun anaknya itu meninggalkan rumah. Ibunya sudah menunggu di luar. Setelah mematikan lampu rumah dan mengunci pintu, Dinar bersama anak dan ibunya menuju perkebunan yang berjarak lima menit dari perkampungan. Tidak hanya mereka, ada banyak kepala dan kaki yang meninggalkan rumah-rumah mereka pukul tiga pagi menuju perkebunan Jasmine. Demi memetik melati, demi sesuap nasi.

 

***

 

Tedi memeloti layar komputer di meja kerjanya. Dia baru saja membuat sebuah akun Instagram dengan nama @/darkofarcie berjudul ‘Aroma Gelap Parfum D’Arcie’ demi mengunggah foto blur yang sempat direkam Biyan malam itu. Dia melakukannya demi menggulirkan isu bahwa D’Arcie tidak sebaik prasangka publik. Dia ingin melihat reaksi orang-orang atas wacana tersebut. Jika diibaratkan laut, ombak dan badai pun terpancing dengan ganasnya, sampai-sampai Tedi takut sampan NBC News & TV terbalik dan karam. Sebab, banyak yang tidak percaya dan menuding akunnya sebagai haters D’Arcie.

Biyan menghampiri Tedi dengan membawa banyak berkas persiapan rencana mereka. “Sudah berapa komentar?” Dia bertanya. “Akun kita belum diblokir kan?”

Tedi menggeleng. “Sudah kubilang, bukti foto nggak bakalan cukup,” dia menanggapi. “Harus ada rekaman suara atau video. Kita harus mewawancarai satu-dua pemetik melati.”

Lihat selengkapnya