Melati Jam Tiga Pagi

Lia Seplia
Chapter #3

03

Pukul lima lebih beberapa menit, Lana sudah menantang udara pagi dan kesibukan jalan raya. Dia mengenakan kemeja putih lengan pendek, rok hitam selutut, dan sepatu berhak tahu setinggi tujuh sentimeter. Rambutnya tergerai lemas di punggung. Aroma melati parfum D’Arcie menyeruak dari permukaan kulitnya yang sudah digosok licin di sebuah tempat spa beberapa hari lalu. Dia juga sedikit berdandan. Pipi dan bibirnya berona cokelat-jingga. Dia menunggu dua rekannya di depan toko kue yang belum buka, lokasi tersebut dekat dengan perumahan tempat Sebastian tinggal dan halte bus serta jembatan penyeberangan.

Tidak lama kemudian sepasang mobil dan motor merapat di depan Lana. Tedi yang mengendarai mobil sedangkan Biyan mengendarai motor. Keduanya datang untuk rencana besar mereka. Biyan menyerahkan kunci motor pada Lana. “Hati-hati berkendara.”

Lana mengambil alih motor tersebut. “Dia akan muncul dari belokan sana kan?” Lana menunjuk arah depan. “Aku sudah bawa handuk kecil.”

“Kami juga harus ke Matari hari ini,” beritahu Biyan. “Pabrik buka lowongan pekerjaan setelah memecat beberapa orang karyawan,” dia menggeleng-geleng. “Kok bisa pas banget ya dengan rencana kita? Agak mencurigakan nggak sih?”

“Sudah sana,” Lana mengusir. “Kerjakan tugas kalian keburu dia datang.”

Biyan naik ke mobil yang dikendarai Tedi. Mobil itu melaju sesaat dan berhenti di belokan. Tedi dan Biyan turun dari mobil. Keduanya membuka bagasi dan mengeluarkan bergalon-galon air lumpur. Terciptalah genangan air kotor di belokan itu padahal semalam hujan tidak turun. Tedi dan Biyan masuk ke mobil dan memundurkan laju mobil kembali, bersiap-siap beberapa meter di belakang motor Lana untuk tugas berikutnya.

Beberapa saat kemudian, Sebastian muncul dengan setelah olahraga di ujung belokan. Tedi langsung tancap gas, dengan sengaja menggilingkan ban mobil ke genangan air kotor sehingga Sebastian yang sedang lewat terkena guyuran. Pakaian dan kaki pria itu basah. Sebastian mendadak kotor. Mobil yang dibawa Tedi terus melaju kencang dan Sebastian tak sempat melihat nomor platnya. Lana menyaksikan semua itu hanya dalam hitungan detik.

Lana tersenyum tipis. Sekarang bagiannya. Dia melajukan motor mendekati Sebastian. Dia dengan sengaja berhenti di depan Sebastian, dan tanpa banyak bicara mengeluarkan handuk kecil dari jok motor. “Bersihkan pakai ini,” katanya sambil memberikan handuk itu pada Sebastian. “Untung bukan saya yang kena,” dia menyengir kecil.

Sebastian menolak. “Makasih. Saya baik-baik saja,” katanya.

Lana memaksa. Dia meraih tangan Sebastian dan memberikan handuk kecil itu. “Saya tahu rasanya di posisi bapak,” dia bercerita. “Kemarin saya gagal wawancara kerja gara-gara pakaian saya basah semua. Saya terkena percikan genangan air yang dilindas motor.”

Sebastian tak tahan lagi. Dia menerima handuk tersebut dan mengelap kaki serta pakaiannya yang terkena percikan air lumpur. “Makasih bantuannya, Mbak,” ujar Sebastian yang sangat mencintai kebersihan. Dia sudah tak kuasa menahan risi.

“Bawa saja Pak handuknya. Nggak usah dikembalikan. Itu handuk usang kok,” Lana menaiki motornya kembali dan memasang helm. “Saya ada wawancara kerja hari ini. Saya minta doanya saja ya Pak,” katanya dengan penuh harap. “Orang bilang kalau kita dapat 40 amin, doa kita bakalan terkabul.”

Sebastian mengekeh kecil. “Mbak percaya hal semacam itu?” tanyanya.

Lana mengangguk. “Saya pergi dulu,” dia melambaikan tangan.

“Melamar kerja di mana?” tanya Sebastian. “Saya mau kasih satu amin.”

“Model paruh waktu untuk Parfum D’Arcie,” Lana memberitahu. “Biarpun mama saya bilang saya jelek, nggak cocok jadi model, terus papa saya sangsi saya akan lolos pekerjaan ini, nggak ada salahnya dicoba,” katanya. “Saya bosan menganggur.” Sebastian terdiam.

“Makasih ya, Pak,” kata Lana lalu melajukan motornya dan menghindari genangan air lumpur di belokan. Sebastian hanya menatap bengong dengan handuk usang di tangan.

Sementara itu Lana memperlambat laju motornya setelah cukup jauh meninggalkan Sebastian. Dia melihat mobil yang dikendarai Tedi sebelumnya parkir di sebuah pelataran rumah makan. Biyan menunggu di pinggir jalan. Lana menyambangi dua rekannya itu.

Lihat selengkapnya