Melati Jam Tiga Pagi

Lia Seplia
Chapter #4

04

Sebuah kereta api khusus penumpang yang menyusuri jalanan Kabupaten Matari melambat saat mendekati stasiun. Suara deru mesin beserta bunyi derit rem menandai akhir rute dalam hitungan detik. Di dalam kereta itu Biyan dan Tedi yang duduk berdampingan selama dua setengah jam mulai bersiap turun. Berbeda dengan penampilan sehari-sehari mereka sebagai jurnalis, Tedi dan Biyan kali ini tampil lebih kusut dan agak kusam. Setelan pakaian mereka hanya kaus oblong tipis dan celana jins pudar serta sandal jepit. Tidak ada riasan dan tatanan rambut berarti. Namun, dalam tas punggung dan koper yang mereka bawa terdapat kamera-kamera serta laptop dengan harga belasan sampai puluhan juta.

Tedi dan Biyan meninggalkan gerbong kereta, mengikuti alur penumpang lain yang juga turun. Derap langkah kaki dan percakapan ramai memenuhi udara, serta suasana stasiun yang sederhana dengan bangunan kayu dan peron yang bersih menyambut mereka. Bilah-bilah sinar matahari pagi menerangi area stasiun yang dikelilingi oleh pemandangan pedesaan.

Mereka menyusuri pelataran stasiun sambil celingak-celinguk. “Di mana toiletnya?” Tedi bertanya, “aku perlu ganti pakaian nih.” Tedi harus segera menuju pabrik Mata Aroma untuk wawancara kerja setelah sebelumnya melamar secara daring di situs web D’Arcie yang membuka lowongan untuk pabrik mereka. Selayaknya pelamar-pelamar pada umumnya, Tedi diwajibkan mengenakan kemeja putih dan celana hitam berbahan kain serta sepatu.

“Stasiun di sini cukup kecil. Toiletnya pasti nggak jauh-jauh banget.” Biyan yang terus berjalan sambil memanggul ransel dan koper akhirnya melihat papan penanda toilet stasiun yang terletak paling ujung. “Tuh, tuh,” dia menunjuk-nunjuk dengan antusias. “Ayo cepat!”

Tedi mengekori Biyan dengan langkah-langkah gegas.

Sementara itu, suara kereta yang berlalu dan aktivitas di stasiun yang sibuk menyatu dengan latar belakang yang tenang dari Kabupaten Matari. Tedi dan Biyan sudah menyiapkan diri berpetualang di sana dengan segala risikonya demi mengungkap praktik pekerja anak.

 

***

 

“Kenalannya Tedi, ya?” tanya bapak-bapak pemilik rumah makan ‘Matari Kenyang’ yang berada di dekat stasiun, saat Biyan menyambangi tempat itu. “Mahasiswa Farmasi?”

“Hehehe, ya, Pak.” Biyan mesem-mesem sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Dengan suara rendah, dia menambahkan, “Jangan keras-keras, Pak. Saya sedang menyamar.”

“Paham, paham.” Bapak tersebut mengulurkan tangan kanan. “Demi skripsi. Demi gelar sarjana,” katanya, menyengir kelewat lebar. “Anak saya juga sedang kuliah di kota.”

Biyan menjabat balik tangan bapak itu. “Saya Biyan, Pak. Mohon bantuannya.”

“Panggil saja saya Pak Benur,” kata bapak paruh baya tersebut. Dia tampak garang dengan kumisnya, tetapi suaranya terdengar jenaka dan gerak-geriknya bersahabat. “Mau saya antar ke kontrakannya sekarang? Nggak makan dulu?”

“Bungkus saja boleh deh, Pak,” jawab Biyan.

Pak Benur langsung membungkuskan makanan untuk Biyan. Dia bekerja sambil terus bicara. “Sudah saya tanyakan ke Pak RT dekat perkebunan Jasmine. Ada kok rumah kosong yang disewakan. Sudah saya bayar pula uang mukanya buat tanda jadi. Nak Tedi yang kirimkan uangnya. Dia dulu tinggal di sini lho pas masih SD, si Tedi itu,” ujar Pak Benur.

“Ya, Pak,” Biyan manggut-manggut menanggapi.

“Nak Biyan bisa bekerja di perkebunan Jasmine, sudah saya tanyakan ke Pak RT-nya. Katanya, tinggal kerja saja sih. Kan kebanyakan yang kerja di sana pemetik serabutan,” jelas Pak Benur. “Cuma mungkin Nak Biyan perlu kasih amplop ke Pak RT-nya, biar Pak RT-nya yang kenalin Nak Biyan ke pengawas perkebunan biar dapat kerja di sana.”

“Ya, Pak. Makasih, Pak,” balas Biyan.

“Memangnya mau meneliti apa? Kok harus diam-diam?” tanya Pak Benur.

“Kualitas bahan parfum, Pak. Dosen pembimbing skripsi di kampus menyuruh saya mengumpulkan data-data awal sebagai pijakan dasar penelitian biar kuat latar belakang penelitiannya, Pak,” Biyan mengarang cerita. “Kalau nggak secara diam-diam nanti pihak perkebunan malah merekayasa prosesnya. Saya menginginkan kondisi yang apa adanya.”

“Hm, begitu.” Pak Benur mengangguk-angguk. Dia memberi Biyan dua nasi bungkus yang masih baru dan hangat secara cuma-cuma. “Ya, sudah. Mari saya antar ke sana.”

 

***

 

Lihat selengkapnya