Melati Jam Tiga Pagi

Lia Seplia
Chapter #5

05

Para pegawai di kantor bupati Matari didominasi tenaga ahli lulusan sarjana sampai magister dengan status pegawai negeri sipil, sisanya tenaga honorer yang kebanyakan lulusan sekolah menengah atas dan diploma, dalam rentang usia dua puluh sampai enam puluh tahun. Sementara itu, bupati terpilih, Bilman... yang umurnya sudah melewati kepala lima masih saja berijazah SMA dan sepertinya tidak berniat menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi, malah mengajukan diri sebagai calon bupati kembali di pemilu tahun ini.

Bilman senang berlama-lama di ruang kerjanya di kantor bupati Matari. Dia membenci jadwal kerja yang mengharuskannya ke lapangan. Jika tidak terlalu mendesak, dia lebih suka menyuruh asistennya yang turun tangan mewakili dirinya. Tidak heran dia kerap berselisih dengan wakil bupati yang gemar bekerja di lapangan daripada berdiam di kantor.

Ruang kerja Bupati dan Wakil Bupati Matari dirancang dengan mempertimbangkan formalitas, kenyamanan, dan kemewahan, mencerminkan posisi dan tanggung jawab yang diemban. Bertempat di lantai tiga gedung pemerintahan bupati yang memiliki lima lantai. Megah dengan lantai keramik, perangkat elevator, dan jendela-jendela besar menghadap jalan serta lanskap alam pedesaan. Jauh dari kawasan penduduk miskin dan terpinggirkan.

Meskipun di belakang meja-kursi Bilman ada rak buku besar yang dipenuhi berbagai koleksi buku hukum, kebijakan pemerintahan, administrasi, dan literatur penting lainnya, semua itu pajangan semata. Bilman tidak pernah membaca buku-buku tersebut. Dia lebih senang bertanya pada manusia yang bisa berbicara daripada buku-buku. Bagi Bilman, membaca buku hanya membuang-buang waktu sebab dia diharuskan berpikir sembari membaca alih-alih langsung menemukan jawaban. Dia tidak suka bikin kepalanya sakit memikirkan solusi dari berbagai permasalahan. Baginya, lebih baik bertanya pada manusia karena langsung dapat jawaban. Tidak harus berpikir lagi. Seperti yang dia lakukan saat ini.

“Di pinggir kabupaten masih banyak anak-anak dalam kondisi stunting dan keluarga miskin yang terus saja kawin-beranak alih-alih memakai alat kontrasepsi,” ujar Pegawai 1. “Sosialisasi KB sudah tidak mempan pada mereka, Pak,” lapornya. “Mereka masih percaya banyak anak banyak rezeki dan setiap anak membawa keberkahan tersendiri. Kami mencatat adanya pertambahan penduduk sekitar lima persen setiap tahunnya.”

Bilman manggut-manggut. “Solusi apa yang bisa kalian semua tawarkan?” tanyanya. “Nanti saya pertimbangkan.” Dia bersandar malas di kursinya sambil memain-mainkan pen tablet. Layar tablet di depannya menampilkan permasalahan pengangguran dan kemiskinan di Matari yang tidak begitu dia pahami. Membaca grafik dan menganalisisnya adalah hal yang sulit bagi Bilman. Karena itulah dia mengandalkan para bawahannya saja.

“Dari bapak apakah ada solusi?” tanya Pegawai 2.

“Lho? Kok nanya saya?” balas Bilman dengan nada menuding. “Sebab itulah gunanya kita rapat hari ini, sama-sama mencari jalan tengah dan solusi permasalahan masyarakat.”

Pegawai 3 angkat bicara. “Kami masih ingin menawarkan solusi bantuan langsung tunai pada masyakarat miskin. Namun, bantuan uang dan sembako seperti dua mata koin. Di satu sisi bisa membantu perekonomian keluarga miskin, tetapi di sisi lain menjadikan mereka semakin berpikir dangkal dan malas. Mereka malah menambah anak lagi karena beranggapan hidup anak-anak mereka akan ditanggung pemerintah jika status mereka masih miskin. Semakin banyak anak semakin banyak pula bantuan yang mereka terima. Satu orang anak mendapat bantuan lima ratus ribu per bulan. Jika ada lima anak mereka bisa dapat 2,5 juta.”

Pegawai 4 menambahkan, “Itu salah satu alasan mereka semakin menolak sosialisasi KB,” katanya. “Berapa pun jumlah anak mereka, kan, sekolahnya nanti gratis. Masalahnya, mereka tidak berpikir setelah sekolah gratis itu anak-anak mereka akan menjadi apa? Pikiran bahwa anak-anak hanya perlu sekolah, bekerja di pabrik atau perkebunan, lalu menikah masih melekat pada mereka. Karena itu, semakin banyak pengangguran atau pekerja serabutan.”

“Ya, ya. Saya mengerti,” Bilman manggut-manggut. “Lalu solusinya apa?” tanyanya lagi. “Jangan buang-buang waktu. Saya masih ada agenda lain. Langsung saja ke intinya.”

“Itu sudah rangkuman pokok persoalan, Pak,” jawab Pegawai 5. “Makanya, kami ingin bertukar pendapat dengan bapak pada rapat kali ini. Karena kami bekerja atas perintah bapak. Jadi, apakah dari bapak ada pandangan lain atau sebuah solusi baru?”

Bilman menghela napas berat. “Begini saja,” katanya sambil melirik arloji di pergelangan tangan. “Kita tunda rapat hari ini ke minggu depan. Silakan kalian merembuk bersama dan mengumpulkan ide untuk permasalahan yang sedang kita bahas ini. Kita rapat kembali satu minggu lagi. Masing-masing kalian harus membawa ide kreatif,” perintahnya.

Begitu saja. Rapat dianggap selesai untuk sementara. Penundaan menjadi kewajaran dan kebiasaan. Permasalahan masih saja mengambang dan tak kunjung menemukan jalan tengah.

 

***

 

Lana bersama dua puluh empat pekerja paruh waktu terpilih berada di studio pemotretan untuk katalog terbaru parfum D’Arcie: sepuluh pria dan lima belas wanita. Cahaya lembut lampu sorot menerangi ruangan dan para kru bekerja keras mengarahkan para model. Lana yang pemula dalam hal ini tidak bisa menutupi kegamangannya. Dengan riasan tipis dan tatanan rambut panjang terurai lembut, Lana mengenakan skinny jins dan setelan kaus-jaket denim serta sepatu kets, berusaha mengimbangi pose lawannya yang anggun dalam balutan gaun hitam. Meski tangannya sedikit gemetar, Lana berusaha menuruti arahan sutradara dan penata visual. Lana diminta bergaya santai penuh percaya diri saat memegang botol parfum mewah D’Arcie yang terbuat dari kaca bening bertahktakan tutup emas yang mewakilkan nuansa chic and fresh. Kendati begitu, dibandingkan lawannya yang tampil glamor dan elegan, Lana yang hanya menampilkan nuansa sederhana pun tampak kesulitan.

Bukannya Lana tidak berusaha. Lana bahkan telah berlatih pose untuk kesempatan ini, dan setiap gerakan serta ekspresi wajahnya telah dia perhitungkan dengan saksama. Namun, saat kamera mulai berputar dan lampu sorot menyala, Lana merasa seluruh dunia sedang menonton dan menghakiminya. Lana mengatur ulang posisi tangan dan kaki dengan hati-hati, berusaha mengangkat botol parfum dengan santai untuk menampilkan nuansa chic and fresh. Dalam ketegangan yang mengganggu, tangan Lana sampai berkeringat dingin, tanpa sengaja menjatuhkan botol parfum yang dia pegang. Dentingnya begitu keras saat menabrak lantai.

Semua mata di studio tertuju pada Lana. Perempuan itu bisa merasakan panas di wajahnya yang memerah. Dengan cepat, Lana meraup botol itu kembali dan meminta maaf dengan kikuk pada seisi studio. Fotografer yang awalnya terkejut berusaha mengatur ulang suasana untuk mencegah kecanggungan lebih lanjut. “Lihat, kan, kuat banget ketahanan botol parfum D’Arcie. Nggak pecah meski jatuh. Luar biasa.” Sosok tersebut berkelakar. “Kerja bagus.” Dia memberi acungan jempol pada Lana. Sementara itu, Lana menyeringai malu.

Lihat selengkapnya