Melati Jam Tiga Pagi

Lia Seplia
Chapter #6

06

“Bodoh!” Tedi menjitak kepala Biyan dalam perjalanan pulang mereka dari pasar ke rumah kontrakan. “Harusnya kamu bisa jaga mulut!”

“Perempuan tadi nggak akan ingat apa yang kita bicarakan di apotek,” balas Biyan, menggerutu. “Dia saja sibuk dengan anaknya.”

“Tetap saja kita harus hati-hati,” Tedi berkomentar. “Kamu membahas pekerjaan kita tadi. Ingat, nggak? Jangan sok lupa deh. Kamu membicarakan Lana dan profesi kita di samping perempuan itu. Mana pegang iPhone pula. Simpan tuh ponsel!”

Ah, tenanglah. Cemas banget sih,” Biyan menoyor dengan pelan bahu Tedi. “Taruhan, nih. Dia nggak kan ingat dengan kita. Palingan dia tinggal jauh dari tempat kita.”

“Ya, sudahlah,” Tedi manggut-manggut. “Kita harus lebih hati-hati.”

Setelahnya mereka meninggalkan pasar dengan damai. Sambil berjalan, keduanya membahas hidangan yang akan mereka masak sesampai di rumah nanti. Dengan langkah-langkah ringan Biyan dan Tedi menikmati suasana tenang pedesaan yang amat jarang mereka temui di kota sehingga mereka serasa mendapat sesi penyembuhan di sela-sela bekerja. Mendekati pemukiman penduduk, Biyan teringat perekrutan pekerja pabrik yang sempat Tedi ikuti. “Sudah ada pengumuman?” tanya Biyan. “Harus nunggu berapa hari?”

“Paling cepat tiga hari,” balas Tedi. “Paling lama satu minggu.”

“Termasuk cepat,” sahut Biyan.

Keduanya melewati satu per satu rumah-rumah warga yang tampak sepi. Hanya terlihat beberapa saja yang tinggal, dan kebanyakan anak-anak serta para lansia. Biyan dan Tedi melewati hunian seorang perempuan yang sedang menjemur pakaian di halaman rumahnya, yang tengah berteriak pada anaknya, “Mala! Jangan digaruk matanya!”

Gluk! Tedi dan Biyan menelan ludah dengan cemas. Jantung mereka seakan mencelos ke perut. Dan bak pencuri yang tertangkap basah, langkah kaki Tedi dan Biyan tiba-tiba berhenti kala mendengar teriakan tersebut. Keduanya berpaling ke sumber suara. Seorang anak perempuan memakai penutup mata kiri dan memeluk truk mainan di pangkuan, tengah mencongkel tanah menggunakan sekop mainan, bermain tidak jauh dari ibunya yang menjemur pakaian. Mereka adalah orang yang sama dengan yang Biyan dan Tedi temui di apotek.

Dan kini ibu-anak itu memandangi Biyan dan Tedi.

“Kalian orang baru ya di sini?” Perempuan itu bertanya, berhenti menjemur pakaian. Biyan dan Tedi refleks saling pandang dalam diam. “Kalian yang tadi di apotek kan?”

Mampus, Tedi membatin.

Biyan mengambil langkah duluan mendekati perempuan dan mengulurkan jabat tangan perkenalan. “Saya Biyan,” katanya sambil menyeringai. “Pekerja perkebunan Jasmine.”

“Dinar,” Perempuan itu menjabat balik tangan Biyan dan menyebutkan nama juga. Dia gantian mengulurkan tangan pada Tedi.

“Saya Tedi.” Tedi buru-buru membalas uluran tangan Dinar.

“Ini anak saya.” Dinar menunjuk anaknya yang sedang bermain di tanah. “Mala.”

“Halo, Mala.” Biyan berubah menjadi sok akrab, melambaikan tangan pada Mala dan tersenyum ramah pada bocah itu. “Lagi main apa?” tanyanya.

“Main truk,” jawab Mala dengan suara lirih.

“Mata anaknya kenapa, Bu?” Tedi bertanya, yang langsung disikut oleh Biyan.

Dinar menyeringai kecil. “Gatal-gatal,” balasnya. “Katanya sih radang mata.”

“Oh.” Tedi manggut-manggut.

Biyan lantas memperhatikan sekitar. “Sepi ya, Bu...” katanya. “Pada ke mana ya kalau boleh tahu?” Dia memberanikan diri bertanya.

“Ke sawah,” beritahu Dinar. “Ada yang ke pabrik dan ke hutan.”

“Hutan?” Biyan bertanya lagi. “Tempat ini dekat dengan hutan?”

Dinar mengangguk Biyan. “Di seberang sungai ada hutan. Banyak yang cari kayu di sana untuk bahan bakar atau dijual lagi. Biasanya nyarinya yang dekat-dekat saja. Soalnya kalau masuk lebih dalam ke hutan kebanyakan nggak bisa keluar lagi.”

“Oh, kenapa?” tanya Tedi. “Ada binatang buas?”

“Nggak tahu juga.” Dinar menggeleng. “Sudah jadi aturan di sini. Kalau masuk hutan jangan jauh-jauh, nanti hilang. Begitu katanya. Nggak tahu kenapa.”

“Wah, makasih banyak informasinya,” balas Biyan. “Kami baru di sini jadi nggak tahu apa-apa.”

Dinar tersenyum tipis. Matanya lantas mengamati kantong belanjaan Tedi dan Biyan. “Mau masak apa? Masih lajang ya makanya pergi belanja sendiri?”

“Eh? Hahaha. Ya, nih.” Biyan mesem-mesem. “Mau bikin ayam goreng,” beritahunya.

“Mau...” Tiba-tiba Mala menanggapi dengan suara rendah bin lirih. Matanya yang tidak tertutup perban tampak memandangi daging ayam di kantong belanjaan Tedi dengan penuh minat. “Mau ayam goreng.”

Tedi berjongkok di hadapan Mala. “Kamu mau makan ayam goreng juga?” tanyanya. Mala mengangguk. “Nanti Om antar ke sini ya kalau sudah jadi.”

Mala mengangguk. Bocah itu tersenyum.

“Ah, nggak usah, Pak,” komentar Dinar, tiba-tiba menjadi sungkan. “Daging ayam kan mahal. Kalian pasti kesulitan membelinya. Nggak perlu membaginya dengan anak saya.”

“Nanti kami antarkan,” Biyan bersikeras. “Kami masak dulu.”

“Tapi—” Dinar membalas yang langsung dipotong Tedi.

“Kami minta apa yang ibu dengar di apotek tadi tolong dirahasiakan,” kata Tedi. Dia berdiri kembali, menghadap Dinar dengan ketegasan dan penghakiman sepihak. “Jangan beritahu siapa-siapa. Oke?”

Dinar lantas mengerutkan kening. “Te-tentang kalian beli obat demam?” dia bertanya, tergagap. “Sa-saya harus merahasiakannya? Ke-kenapa?” Dinar mendadak khawatir.

Ah! Bahu Tedi dan Biyan yang tegang berubah kendor. Senyum keduanya mengembang. Tak pelak keduanya tertawa-tawa. “Hahaha.” Biyan mengibaskan sebelah tangan di udara. “Maaf, maaf. Teman saya ini bercanda,” katanya, menutupi kecanggungan dan ketololan.

Lihat selengkapnya