Dua cangkir espreso yang asapnya mengepul menemani Sekar menunggu seseorang di salah satu sudut kafe bergaya retro. Hari masih terlalu pagi dan tempat itu sedang sepi. Selain Sekar, hanya ada sepasang muda-mudi di tengah ruangan yang sibuk mengetik sesuatu di laptopnya dan sesekali berdiskusi mengenai data-data penelitian skripsi. Lima belas menit berlalu, orang yang ditunggu Sekar datang membawa ransel gemuk, tampil berantakan dengan rambut kusut, kaus oblong, serta jins belel yang perlu ditambal bagian lututnya.
“Kau terlambat,” Sekar menyambut sinis.
“Ini terlalu pagi untukku,” kata orang itu setelah duduk di seberang meja. Dia mengeluarkan sebuah map berwarna merah dari dalam ranselnya, menaruhnya ke meja, meletakkan tasnya ke kursi sebelah, lalu mendorong map itu ke arah Sekar. “Gadis itu masih seorang jurnalis,” katanya kemudian dengan tenang. “Seperti yang kau pikirkan.”
Sekar terdiam sesaat sebelum bertanya lagi, “Bagas... aku tidak salah dengar?” Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Gadis itu menyamar?”
Bagas, orang yang disewa Sekar untuk menyelidiki identitas asli Lana, mengangguk singkat. Dia mengambil satu cangkir espreso yang masih utuh, yang sudah agak dingin, dan menyesapnya pelan. Sekar mengambil map itu dan membukanya.
“Menurutku sasarannya bukan kau deh,” Bagas bicara lagi. “Pasti Sebastian—kau bilang pertemuan mereka agak aneh. Atau, barangkali perusahaan D’Arcie,” Bagas mengedikkan bahu. “Dia jurnalis berita. Sudah pasti yang dia cari kebenaran dari polemik.”
Sekar membaca daftar riwayat hidup Lana yang didapatkan Bagas sambil menggeram kecil. “Aku tahu,” jawabnya, menaruh kembali map itu ke meja dan menenggak espresonya.
“Apa D’Arcie ada masalah akhir-akhir ini?” tanya Bagas.
Sekar mendesah berat dan diam sesaat.
“Rumor itu, ya?” Bagas menebak. “Aku tahu. Aku juga membacanya. Ada akun bodong yang bilang D’Arcie mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Akunnya sudah hilang sih.”
“Aku rasa...” Jemari Sekar mengetuk pelan di permukaan meja. “Gara-gara rumor itu NBC mencoba menerobos D’Arcie dengan mengirim jurnalisnya,” dia berprasangka.
“Manfaatkan saja dia,” Bagas memberi usul.
“Maksudmu?” Sekar bertanya balik.
“Sampai kapan kau menjadi bawahan Sebastian?” Bagas memprovokasi dengan santai. “Berikan saja kebenaran yang ada pada gadis itu. Lalu, salahkan Sebastian karena dia yang memaksamu mempekerjakan gadis itu sebagai asistenmu. Setelah Sebastian ditendang dari jabatannya, kau bisa menggantikannya.”