Melati Jam Tiga Pagi

Lia Seplia
Chapter #8

08

Selama seminggu, Tedi membaur dengan para pekerja di pabrik Mata Aroma tanpa kesulitan berarti. Dengung berbagai mesin tak putus-putus memenuhi gendang telinganya selama delapan sampai sepuluh jam. Belum lagi percakapan para pekerja yang mengeluhkan kecilnya upah, tetapi mereka pun takut bersuara pada pihak pemberi kerja.

 Tedi terus mencoba beradaptasi dengan ritme kerja yang cepat dan tekanan yang tinggi. Dia belajar menggunakan peralatan, beramah-ramah dengan rekan dan pimpinan, serta mengikuti instruksi dengan saksama. Dia terus memotivasi diri bahwa semua ini akan segera berakhir. Jadi, pada hari berikutnya, dia mulai menyabotase untuk menuntaskan misinya. Sembari bekerja dan berkeliling pabrik, berpindah dari satu area ke area lain, Tedi menaruh perekam ukuran mikro di tempat-tempat tertentu secara sembunyi-sembunyi. Di saat yang sama Biyan di rumah sewa, bersiaga di depan laptop memantau server, mengopi apa pun yang didapatkan alat-alat itu, yang tersambung secara real-time ke penyimpanan data mereka.

 

***

 

Sudah satu jam Lana memelototi layar laptop di hadapannya, pada rangkaian naskah pidato perayaan hari jadi D’Arcie yang ketiga puluh untuk Sebastian Rudi. Lana yang tulis. Sekar yang suruh. Lana terbiasa menulis berita politik, sosial, dan ekonomi berdasarkan data-data yang dia terima di lapangan, dengan sedikit bumbu sarkasme. Lantas, dia menjadi bingung ketika diminta menulis kalimat-kalimat manis penuh motivasi untuk pelanggan setia.

“Kenapa dia ikutan pidato sih?” Lana bergumam sendiri. “Nyusahin aja.”

Pintu ruangan berayun terbuka dan Sekar menampakkan muka. Dia menghampiri Lana dan menyerahkan sebuah diska lepas. “Tolong cetak jadwal kunjungan lapangan bulanan Sebastian ke Matari,” katanya. “Nanti taruh saja ke meja dia.”

Lana menerima diska lepas tersebut. “Baik, Mbak. Eh, Bu.” Dia menyengir.

Sekar mengangguk saja. “Saya rapat dengan klien di luar. Sore baru kembali. Kalau ada yang mencari saya, suruh dia menunggu atau kembali besok saja,” katanya. Lana mengiyakan.

Sekar meninggalkan lantai itu dengan langkah gegas. Ketukan sepatunya yang beradu dengan permukaan ubin semakin lama terdengar samar, lalu menyisakan senyap.

Daripada menulis naskah pidato, Lana lebih memilih mencetak dokumen saja. Lebih mudah. Tidak perlu keahlian khusus. Lana memasukkan diska lepas milik Sekar ke laptop. Layar menampakkan hampir dua puluh folder, dengan lebih dari seratus dokumen dalam berbagai jenis: PDF, Word, Foto, Excel, PPT. Lana mencari-cari fail dengan judul Jadwal Kunjungan Bulanan. Dia menemukannya. Akan tetapi matanya tidak kuasa memperhatikan judul-judul lain yang lebih menarik.

“Anggaran 2 Pembayaran Pabrik Mata Aroma_Revisi 3.” Lana mengeja lirih apa yang dia temukan. “Laporan Kerja Sama Perkebunan Jasmine_Final_Oke.”

Lana segera saja mengambil diska lepas pemberian NBC dari dalam tasnya, memasang benda itu ke laptop yang sama, dan mengopi semua dokumen simpanan Sekar tersebut. Lana tak menahan senyum kecil yang terbit di sudut bibirnya. “Harus diperiksa nih,” gumamnya.

 

***

 

Di salah satu sudut pabrik Mata Aroma, agak jauh dari suara mesin dan wangi melati, di antara kesibukan-kesibukan, sekelompok buruh laki-laki berkumpul di sebuah meja kayu sederhana. Mereka menyantap bekal yang dibawa dari rumah pada jeda istirahat kerja. Suasana sedikit muram kala orang-orang itu mencurahkan pikiran satu sama lain. Tedi bergabung dengan kelompok itu, menyimak obrolan para lelaki yang menjadi tulang punggung keluarga. Sebelumnya, Tedi telah menyalakan perekam yang bersembunyi di balik topi kerjanya.

Seorang buruh berusia 30 tahun dengan perawakan tiang listrik turut menyampaikan keluhannya. "Kerja kita makin hari makin berat, tapi upahnya sama aja. Ya, nggak sih? Aku udah kerja di sini hampir lima tahun, tapi nggak ada perubahan gaji."

Buruh lain yang duduk di sampingnya, mengangguk. "Iya, apalagi harga sembako sekarang makin melambung. Istri di rumah marah-marah terus minta tambah uang belanja. Dulu, aku bisa beli beras satu karung, sekarang, setengah karung udah bikin kantong bolong."

“Harga parfum Arcie-Arcie itu kabarnya mahal. Kok kita yang kerja keras bikinnya di sini malah dapat upah sedikit sih,” kata salah satu buruh yang duduk di dekat Tedi.

Tedi enggan mengoreksi kesalahan penyebutan nama perusahaan D’Arcie barusan.

Buruh lain pun menimpali. "Kalau kita protes, takutnya dipecat.”

Mereka semua terdiam sejenak, masing-masing merenungkan kondisi itu. Tidak ada sangkalan, karena memang jika mereka masih saja mengeluhkan jumlah upah pada pimpinan, ancamannya adalah kehilangan pekerjaan. Tanpa pekerjaan di pabrik, hidup mereka jauh lebih sulit. Jadi, mereka memilih menerima upah kecil itu asal dapat tiap bulan.

 

***

 

Malam ini Biyan meriang sehingga dia alpa memetik melati. Sebagai gantinya, dia mengeluarkan drone dari koper dan menyalakan benda itu. Di meja dapur, dia mengetes ulang sambungan drone dengan konsol pengendali, memastikan barang itu berfungsi karena sudah lama tidak dipakai. Tedi yang membuatkannya bubur, berkomentar. “Aman nggak tuh?”

“Aman,” sahut Biyan.

Lihat selengkapnya