Melati Jam Tiga Pagi

Lia Seplia
Chapter #9

09

Tedi dan Biyan memandangi keran kamar mandi rumah sewaan mereka dengan tatapan murka. Keran itu mengeluarkan suara aneh ketika diputar. Terbatuk dan mendengih seperti terkena serangan asma. Mendenguk seakan ditenggelamkan. Keran itu menyemburkan air sesekali, kemudian hening yang cukup lama. Tedi berjaga di dekat pintu selama kurang lebih dua jam, berharap benda itu tiba-tiba menyala lagi, tetapi tidak beruntung. Karena itu, Biyan menyampirkan handuk di lehernya dan menenteng peralatan mandi dalam ember kosong.

“Ngapain?” tanya Tedi. “Mau mandi di rumah tetangga?”

“Sungai,” jawab Biyan. “Mandi di sana aja. Habis itu kita bawa dua ember air ke rumah untuk cadangan malam hari.” Biyan memberi usul. “Ayolah. Keran itu rusak. Harus diganti.”

Tedi akhirnya menurut. Dalam perjalanan ke sungai, keduanya bertemu dengan Dinar yang membawa baskom berisi pakaian kotor di kepalanya. Biyan pun menyerahkan ember yang dia bawa pada Tedi, dan menawarkan bantuan tenaga pada Dinar.

“Biar aku saja yang bawa,” katanya, meminta Dinar menyerahkan beban di kepalanya itu. “Pasti berat banget.”

Namun, Dinar menolak dengan sopan. “Perempuan di sini kuat-kuat,” katanya. “Aku bisa bawa sendiri. Kalian mau mandi di sungai, ya?” tebaknya. “Air di rumah mati?”

“Kerannya rusak,” balas Biyan.

“Lana juga kuat.” Tedi tiba-tiba menyeletuk demikian. “Bisa angkat galon sendiri.” Dia mendapat sikutan dan pelototan dari Biyan. Tedi tak ambil pusing.

“Lana siapa?” Dinar yang mendengar pun bertanya karena heran. “Pacarmu?”

“Teman di kota dulu.” Tedi membalas. “Dia nggak punya pacar. Dia nggak menikah,” Tedi tersenyum kecil. “Mandiri dan tangguh.”

“Nggak menikah?” Dinar bertanya lagi. “Maksudnya, belum menikah?”

Tedi menggeleng. “Dia memilih untuk nggak menikah.” Tedi mengoreksi. “Orang-orang di kota sudah pada bebas memilih jalan hidup. Sudah nggak terikat kebiasaan lama lagi.”

“Tapi, nanti dia bisa dicap perawan tua,” kata Dinar, nada suaranya terdengar khawatir. “Orang-orang pasti bergunjing tentang dia yang nggak nikah-nikah. Dia akan kesulitan seumur hidupnya. Apa dia nggak malu? Dia pasti sedih dijadikan bahan gosip.”

“Justru perempuan kuat itu malah yang tahan banting dari terpaan gosip dan hinaan atas pilihan hidupnya,” kata Tedi. “Karena yang diserang jiwa dan fisik sekaligus.”

Biyan turut menanggapi. “Itu kan pilihan dia, orang lain nggak berhak menghakimi,” kata pemuda itu. “Memangnya nggak nikah itu aib ya?”

Dinar mengangguk. “Di sini perempuan kalau sudah umur 25 tahun dan belum nikah, sudah dapat malu.” Dinar menjelaskan. “Orangtuanya malu. Dia pun malu. Jadi, harus cepat-cepat dicarikan jodoh. Di atas 25 tahun biasanya pasrah saja dapat duda-beranak. Kalau umurnya lewat dari tiga puluh tahun, sudah nggak ada lagi yang bisa dilakukan, pilihan jadi sedikit. Terlalu tua. Nggak ada lagi laki-laki yang mau. Bakalan jadi perempuan tua.”

Biyan memandangi Tedi. “Jangan sampai Lana dengar.”

“Hahaha.” Tedi tergelak geli. “Lana juga nggak peduli tuh.”

“Teman kalian itu baik-baik saja kan?” Dinar bertanya lagi, masih khawatir.

“Begini...” Biyan mencoba menjelaskan. “Di kota-kota besar, sudah banyak perempuan yang memilih untuk nggak menikah dan nggak punya anak. Kalau pun ada yang menikah, beberapa memilih nggak punya anak. Itu sudah wajar. Itu normal,” terang Biyan. “Ngapain malu hanya karena nggak menikah? Malu itu kalau mencuri atau membunuh.”

“Terus siapa yang merawat dia pas tua nanti?” tanya Dinar, heran.

Biyan dan Tedi saling pandang. Tedi pun menanggapi. “Hem. Begini... manusia menikah dan punya anak untuk berbahagia, bukan untuk memiliki seseorang yang bisa merawat mereka pas tua nanti.” Tedi berusaha menjelaskannya sesederhana mungkin.

Dinar mendadak bingung. “Kan, itu gunanya anak?”

Biyan menambahkan, “Kan ada panti jompo,” katanya.

“Temanmu mau tinggal di panti jompo pas tua nanti?” Dinar terperangah. “Lebih baik punya anak saja. Panti jompo hanya untuk lansia buangan.”

“Jangan sampai Lana dengar.” Tedi membalas Biyan.

“Ah, begini...” Biyan menjelaskan kembali. “Di kota-kota besar, pandangan orang-orang sudah banyak berubah. Anak bukan lagi investasi masa tua. Mala, anakmu pun, bukan jaminan masa tuamu. Mala nggak punya tanggung jawab untuk merawatmu,” kata Biyan. “Dia akan punya kehidupan sendiri nanti. Dia berhak memilih kehidupannya sendiri.”

“Mala seharusnya merawatku nanti. Sama kayak aku yang merawat ibuku,” ujar Dinar. “Bukankah seperti itu?”

“Boleh-boleh saja kok,” balas Tedi. “Itu pilihanmu kan? Nah, temanku juga punya pilihan sendiri. Dia mau tua di panti jompo saja. Di kota besar, panti jomponya bagus-bagus. Sudah ngalahin hotel. Pelayanan kesehatannya setingkat rumah sakit. Meninggal pun nanti diurus sampai selesai. Tapi, wajib membayar. Makanya, sejak muda temanku itu kerja keras.”

“Oh, bayar?” Dinar manggut-manggut. “Aku mana bisa kayak gitu.”

“Kalau boleh tahu...” kata Biyan, “alasanmu menikah apa?” tanyanya.

Lihat selengkapnya