Melati Jam Tiga Pagi

Lia Seplia
Chapter #10

10

Meskipun Dinar sempat berkata agar tidak melibatkannya pada apa pun yang sedang direncanakan Biyan dan Tedi, kala uang sudah bicara, pertahanan mana yang tidak runtuh.

Biyan dan Tedi mengunjungi rumah Dinar pada malam hari sambil membawa makanan dan sejumlah uang. Mereka tidak nyaman karena menyerupa politikus yang menggunakan taktik uang dan makanan untuk mereguk jiwa orang miskin. Namun, itu rupanya cara paling ampuh. Pantas, selalu berhasil. Biyan menjelaskan bahwa mereka memang jurnalis dari kota, tengah menyelidiki praktik pekerja anak di bawah umur dan regulasi buruh pabrik di Matari. Karena itu, mereka menyamar. Mereka butuh bantuan Dinar hanya untuk lima menit rekaman.

Tedi menjelaskan bahwa Dinar tidak perlu melakukan apa-apa, tetaplah beraktivitas seperti biasa. Mereka akan memasang kamera di beberapa titik di rumah Dinar mulai pada pukul tiga pagi, kemudian mengikuti Dinar sampai tiba di perkebunan. Mereka juga butuh suara Dinar, memberitahukan isi hati perempuan itu yang sesungguhnya, tentang keputusan membawa anak-anak bekerja. Agar dunia tahu perempuan-perempuan di Matari menderita.

“Kalau aku kenapa-napa gimana?” Dinar bertanya, meragu. Matanya bolak-balik antara uang dan makanan, serta Mala dan ibunya. Biyan dan Tedi merasakan pertahanan perempuan itu goyah. “Soalnya, dulu, pernah ada aktivis yang kayak kalian ini... malah hilang.”

“Kalau itu terjadi, yang akan diincar pasti pihak kami,” papar Biyan. “Bukan kamu. Kamu malah akan diselamatkan oleh pihak D’Arcie atau netizen. Percayalah. Kekuatan publik saat ini nggak main-main. Pejabat aja baru kerja setelah viral di media sosial.”

“Aku pernah mendengar tentang itu,” sahut Dinar, mengangguk singkat. “Pak Solihin gemar mengoceh tentang itu di perkebunan. Konten viral. Media sosial. Netizen.”

“Kamu bisa membawa Mala berobat mata setelah ini,” kata Tedi. “Bos kami di kantor juga menawarkan pekerjaan cleaning service untukmu. Kamu bisa merantau ke kota dan hidup lebih baik. Kami akan bantu. Kami akan carikan rumah sewa yang murah. Kami bantu ke rumah sakit besar agar Mala mendapat pengobatan terbaik untuk matanya.”

Dinar memperhatikan Mala. Mata anaknya bengkak sebelah gara-gara radang. Saat ini Mala sudah berhenti menggaruk, tetapi beberapa hari lagi pasti Mala melakukannya lagi. Penyakit di mata Mala belum sembuh, hanya tidur sementara. Mala akan menderita kembali.

“Kalau berita yang kalian buat nanti itu viral,” ujar Dinar. “Orang-orang di sini akan mendapat upah lebih banyak dan anak-anak nggak perlu lagi bekerja?”

“Itu dia!” ungkap Biyan. “Kamu turut menolong mereka.”

“Akan banyak yang memberikan bantuan,” lanjut Tedi. “Jangan remehkan simpati netizen. Orang-orang akan berlomba-lomba menggalang dana untuk warga sini.”

“Kedengarannya bagus.” Dinar manggut-manggut. Dia melirik mata Mala yang bengkak sekali lagi, lalu mengambil pilihan. “Kapan kalian mau merekam aktivitasku?”

Biyan dan Tedi mengembuskan napas lega. Malam itu juga mereka memasang kamera di rumah Dinar kecuali kamar mandi, serta mengikuti Dinar yang membawa Mala menuju perkebunan, menantang udara dingin dan gigitan serangga pada pukul tiga pagi demi upah yang tak seberapa.

 

***

 

Di hari libur, Lana berkunjung ke kantornya di NBC. Dia juga meminta Hardi untuk datang membantu. Yang dilakukan Lana adalah mencetak dokumen anggaran pengajuan dan pembayaran upah buruh pabrik serta pekerja pemetik melati yang telah dia kumpulkan, lantas memasukkan semuanya ke mesin pemotong kertas. Hardi memperhatikan saja dalam diam. Kemudian, Lana memungut potongan-potongan kertas itu dan meletakkannya ke meja.

“Nah, kita satukan lagi pakai lem. Pakai selotip bisa juga,” perintah gadis itu pada Hardi. “Kalau belum selesai, belum boleh pulang. Kita lembur.”

“Kamu pasti sudah gila.” Hardi melongo memandangi potongan-potongan kertas itu. “Untuk apa dihancurkan kalau harus diperbaiki lagi?”

“Ini trik,” papar Lana. “Aku akan bawa ke hadapan Sebastian.”

“Nggak ada cara lain?” Hardi masih enggan membantu.

Lihat selengkapnya