Melati Jam Tiga Pagi

Lia Seplia
Chapter #11

11

Malam hari, Bilman kembali ke rumah dinasnya diantar mobil dinas setelah seharian blusukan ke sawah-sawah warga. Dia bersih-bersih dan berganti pakaian sambil menggerutu mengingat sepatu kulitnya seharga lima belas juta yang dibeli di luar negeri terkena noda tanah. Seharusnya dia mengindahkan nasihat ajudannya agar memakai sandal atau sepatu bot.

Setelah beres-beres, Bilman menuju dapur untuk mengambil satu botol air mineral dari dalam kulkas. Ditenggaknya air itu, sementara dia memikirkan masa jabatannya yang akan segera berakhir. Dia masih memiliki kesempatan satu kali periode lagi untuk menjabat. Sayangnya, wakilnya saat ini akan maju sebagai pesaingnya dengan merekrut pebisnis muda sebagai pasangan, sosok anak daerah yang besar di ibukota, dan terkenal sebagai seorang influencer. Bilman merasa terancam karena belum memiliki rekan atau pasangan calon.

Bilman kembali ke ruang tengah setelah selesai dengan satu botol mineralnya. Dia membuka jendela di salah satu sisi ruangan dan membiarkan udara malam yang dingin masuk bersama suara orgen tunggal yang terdengar lamat-lamat di kejauhan. Diambilnya asbak dari atas meja, lalu dia duduk di bibir jendela, menyulut sebatang rokok, dan memikirkan kembali langkah yang harus dia ambil agar bisa menjabat sebagai bupati Matari sekali lagi.

Tok, tok, tok!

Bilman menoleh ke pintu dua daun yang rupanya masih membuka lebar. Asistennya menampakkan muka dengan sekantong bungkusan gendut di tangan. “Apa itu?” Bilman bertanya setelah mengembuskan asap rokoknya ke udara.

“Pajak Pabrik Mata Aroma dan Perkebunan Jasmine,” jelas asistennya.

Meskipun disebut pajak, sesungguhnya yang dibawa asisten Bilman bukanlah pajak sungguhan. Pajak perusahaan yang sebenar-benarnya disetor ke khas negara melalui dirjen pajak, bukan dikirim ke rumah bupati. Yang diterima Bilman setiap tahunnya dari pabrik dan perkebunan adalah uang ramah tamah agar semua pihak senang.

Bilman menunjuk meja dengan jarinya yang memegangi rokok. “Taruh saja di sana,” katanya, memerintah dengan santai. “Ambil bagianmu dan pulanglah.”

Asisten tersebut menghampiri meja dan meletakkan bungkusan yang dibawanya. Dia tidak mengambil satu lembar pun uang yang ada itu, berpamitan dengan sopan, dan segera meninggalkan rumah tersebut. Bilman membiarkan asistennya itu pergi dengan cengiran kecil. “Memangnya tunjangan PNS kabupaten miskin bisa mengantarkan anakmu ke sekolah swasta ibukota?” gerutunya. “Sok berintegritas.”

Esok harinya, pada rapat mingguan di kantor bupati, Bilman menerima aduan dari para staf mengenai jalanan yang rusak. Bahwa, seorang YouTuber dari ibukota satu minggu lalu melakukan perjalanan ke kabupaten Matari menggunakan kereta api dan mengunjungi perkebunan Jasmine serta kembali ke ibukota di hari yang sama telah mengeluhkan jalanan rusak di Matari. Dalam videonya, kamera menyorot beberapa lubang di jalan yang amat dalam dan lebar sehingga bisa menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Komentar-komentar tajam penuh kritik dari Si YouTuber pun menyasar pejabat yang berwenang, terkhususnya Bupati Matari.

Setelah melihat video tersebut, Bilman menunjuk-nunjuk layar yang memperlihatkan wajah Si YouTuber dan berkomentar, “Suruh dia yang bangun jalan itu!” katanya, berang. “Siapa namanya? Di mana dia tinggal? Mahasiswa? PNS? Atau, apa? Panggil dia! Tuntut dia dengan pasal pencemaran nama baik. Masukkan dia ke penjara!”

Pegawai 1 menimpali. “Mohon maaf, Pak. Kita tidak bisa mengadili dia hanya karena menunjukkan jalanan rusak daerah sini,” ujarnya, dengan tenang. “Ini zaman digital dan konten, Pak. Mohon diingat, kekuatan netizen sangat besar untuk saat ini. Publik bisa menganggap kita antikritik jika kita menanggapi hal ini dengan cara yang salah.”

“Lalu apa cara yang benarnya?” Bilman malah balik bertanya.

Pegawai 2 mengomentari. “Tentu kita harus berterima kasih dan mengapresiasi orang tersebut lalu melakukan evaluasi dan perbaikan kinerja pemerintahan. Kita perbaiki jalan yang rusak itu, Pak. Segera. Setelah itu kita tunjukkan ke publik bahwa kita sudah berbenah.”

“Anggarannya?” tanya Bilman. “Kita jadinya harus merombak anggaran lagi, bukan? Setahu saya anggaran untuk jalan kita alihkan ke posyandu.” Dia mengingat-ingat. “Kita kekurangan dana. Kita biarkan saja jalanan rusak itu untuk sementara, nanti video itu...” dia menunjuk-nunjuk layar, “juga tenggelam sendiri. Tidak akan ada yang membahasnya.”

“Ini mau dekat pilkada, Pak,” Pegawai 3 menginterupsi. “Pasti diungkit dan dibahas. Setidaknya oleh seseorang. Apa bapak mau melepas kesempatan ini?” Dia mempersuasif. “Kalau seseorang mencoba memperbaiki jalanan rusak itu dengan uang pribadinya lalu mengunggahnya ke media sosial, publik pasti tersentuh. Kalau orang itu mencalonkan diri sebagai bupati atau wakil, pasti banyak yang pilih. Apa tidak masalah, Pak?”

Lihat selengkapnya