Melati Jam Tiga Pagi

Lia Seplia
Chapter #12

12

Perjalanan dari perkebunan menuju rumah terasa panjang bagi Dinar ketika Biyan yang berjalan di sampingnya tiba-tiba mengingatkannya pada aktivis mahasiswa bernama Anton, yang sepuluh tahun lalu berusaha mengedukasi warga agar tidak melibatkan anak-anak mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dua orang itu sama-sama tidak suka melihat anak-anak bekerja di malam hari memetik melati. “Kamu bisa lho memberi contoh bagi yang lain. Nggak membawa Mala kerja—itu maksudku,” Biyan memaparkan. “Hanya perlu satu orang yang membuat perubahan, sisanya pasti mengekor.”

“Dulu pernah ada yang sepertimu ini.” Dinar menanggapi dengan pelan, sambil terus mengawasi ibunya dan Mala yang berjalan beberapa langkah di depan. “Saat aku berusia lima belas tahun, aku melihat sekelompok mahasiswa datang kemari dengan niat membantu kami. Mereka mencoba membujuk warga agar nggak bawa anak-anak kerja di perkebunan.” Dinar menghela napas pendek. “Tapi, bagi kami, itu nggak bisa disebut membantu.”

“Maksudmu yang... dibicarakan Pak Solihin tadi?” Biyan menebak. Dinar mengangguk. “Dia menyerah begitu saja?” tanyanya.

“Kalau aku nggak salah ingat, mula-mula ada sepuluh orang. Tiap minggu berkurang saja anggota mereka. Tersisa satu saja. Si Anton itu. Dia kemudian nggak muncul-muncul lagi,” ungkap Dinar. “Dia sudah mengumpulkan warga dan mencoba memberi nasihat agar tidak bawa anak bekerja.” Dinar menggeleng pelan. “Warga malah marah padanya. Soalnya, sama saja dengan menutup rezeki mereka. Orang-orang perkebunan nggak akan rugi kalau kami nggak bawa anak kerja, yang sengsara malah kami sendiri. Soalnya, kalau nggak minta bantuan anak, hasil kerja kami bakalan sedikit. Semakin banyak tangan semakin bagus.”

“Kalau umur Mala lima belas tahun sih nggak masalah,” Biyan membalas. “Masalahnya dia di bawah umur. Umur segitu seharusnya bermain dan belajar saja, bukan kerja.”

Dinar menyengir kaku. “Prinsip kayak gitu nggak cocok untuk orang-orang sini,” jawab Dinar. “Apalagi sekarang bantuan untuk warga miskin akan dipangkas. Kami mungkin harus bangun lebih awal dan membawa lebih banyak anggota keluarga ke perkebunan.”

“Warga benar-benar nggak mau mendengar ajakan para aktivis dulu itu untuk nggak bawa anak di bawah umur bekerja?” tanya Biyan. Dinar mengangguk. “Jadi, waktu kamu masih kecil pun, kamu juga kerja di perkebunan jam tiga pagi?

Dinar mengangguk sekali lagi. “Ayahku buruh pabrik. Aku dan ibuku pekerja serabutan di perkebunan. Aku sudah memetik melati sejak umur lima tahun. Kalau ibuku sedang sakit, aku pergi sendirian saja. Aku punya dua saudara.” Dia bercerita. Yang satu laki-laki, kerja di pabrik, dan sudah berumah tangga. Dia tinggal agak jauh dari sini. Kami nggak akrab. Aku nggak cocok dengan istrinya. Anaknya suka mukul Mala pakai mainan, jadi aku marahi anaknya. Malah kami yang nggak akur setelah itu.” Dinar menyengir kecil. “Yang satu lagi perempuan, meninggal sejak dalam kandungan dan sejak itu ibuku nggak bisa hamil lagi.”

“Kamu yang mengurus ibu dan ayahmu?” tanya Biyan.

“Siapa lagi? Aku perempuan. Anak laki-laki kan dijadikan raja. Anak perempuan yang babu,” nada suaranya mengiba, “aku bisa bertahan sejauh ini. Mala pasti juga.”

Biyan menggeleng kuat-kuat. “Mala bukan dirimu. Kamu bukan ibumu,” tanggapnya. “Saat anak-anak lain bermain dan belajar, kamu malah kerja. Apa yang kamu rasakan?”

“Anak-anak di sini sama saja denganku,” katanya. “Kami ikut orangtua kerja.”

“Maksudku...” Biyan mengoreksi perkataannya, “apa kamu nggak marah dan kesal... atau apa... karena harus bangun jam tiga pagi dan pergi ke perkebunan memetik melati? Pernah nggak kamu bertanya-tanya kenapa aku harus melakukan semua ini? Mau sampai kapan aku akan begini?” ujar Biyan. Dinar menghela napas panjang, menengadah ke langit-langit, tak kunjung menjawab. Biyan pun melanjutkan. “Itu juga yang dirasakan Mala.”

Dinar membuka mulutnya membuka, tapi tak ada sanggahan yang keluar.

“Mala hanya nggak ngomong aja,” tambah Biyan. “Sama sepertimu dulu.”

Pandangan Dinar beralih memperhatikan Mala yang berjalan semakin jauh di depan, memandangi punggung anaknya yang mulai bungkuk, perlahan-perlahan menyerupai dirinya, karena terus saja membawa keranjang rotan berisi bunga melati sejak kecil.

 

***

 

“Saya ikut Pak Sebastian ke mana, Bu?” Lana bertanya sekali lagi, takut salah dengar, saat Sekar memberitahunya untuk pergi menemani Sebastian ke pabrik Mata Aroma.

“Jadwal lapangan ke Matari,” jelas Sekar. “Biasanya sih dengan saya. Kadang, dia pergi sendiri saja. Saat ini saya sedang banyak kerjaan. Tolong, ya,” pinta Sekar.

“Naik apa ke sana, Bu?” tanya Lana. “Kereta api, ya?” Lana menengok arlojinya. “Ini sudah siang, kalau bolak-balik di hari yang sama nggak mungkin deh.” Lana mengingatkan. “Kalau saya nggak salah, butuh 2-3 jam ke kabupaten itu.”

“Pakai mobil Sebastian kok,” Sekar menanggapi. “Jadi, nggak masalah kalau pulangnya malam hari. “Lagian, ada empat orang lagi bawahan kita yang ikut, mereka pakai mobil kantor. Kalian bakal saling mengiringi di perjalanan nanti. Jadi, aman.” Sekar menekankan.

“Ah, begitu.” Lana manggut-manggut. “Baik, Bu.” Lana tersenyum tipis. Kendati begitu, emosinya dia terpecah menjadi dua bagian. Tidak senang karena harus bepergian jauh dengan Sebastian. Agak senang, karena dia bisa bertemu Biyan dan Tedi, setidaknya dia bisa melihat sendiri pabrik Mata Aroma dan perkebunan Jasmine dengan mata dan kepalanya sendiri.

 

***

 

Beberapa menit setelah mobil Sebastian melaju di jalan raya, Lana mengirim pesan teks pada Biyan dan Tedi tentang kehadirannya ke Matari yang ditanggapi Biyan dengan antusias. Mereka janjian bertemu secara sembunyi-bunyi. Perempuan itu, untungnya, mengenakan celana jins panjang dan kemeja serta sepatu kets sehingga dia bisa duduk santai di samping kemudi. Sebastian yang mengemudi, sesekali melakukan percakapan menggunakan walkie talkie bersama pengendara dua mobil kantor yang melaju di depan dan di belakang.

Lihat selengkapnya