Sebastian menyetir pulang ke ibukota bersama Lana di sampingnya. Mobilnya berjuang menghadapi jalanan kasar berbatu dan bertanah selama setengah jam sampai menemukan jalanan aspal yang lebih mulus pada setengah jam berikutnya. Kemudian, Sebastian menyadari dalam kurun waktu tersebut Lana sama sekali tidak bicara padanya. Lana hanya menatap jalanan, ponsel, jalanan lagi, begitu saja terus. Sebastian tidak bisa tidak penasaran.
“Kamu sakit, ya?” Sebastian bertanya demikian. Lelaki itu kelihatan bingung. “Mabuk perjalanan?” dia menduga-duga. “Jalanan ke Matari memang jelek sih. Harusnya kita naik kereta api saja, tapi kereta ke sini cuma ada kelas ekonomi.”
Lana menoleh, menggeleng.
“Kenapa dari tadi diam saja?” tanya Sebastian lagi. Di hadapannya, di sudut kanan dasbor, penunjuk jalan elektronik berlayar kecil berceloteh memberi arah, membantunya menemukan jalan yang benar dan tercepat menuju ibukota sekaligus menghindari lalu lintas yang buruk. “Kalau kamu mau muntah bilang saja,” katanya.
“Aku mau istirahat sebentar.” Lana akhirnya bicara. “Perjalanan darat nggak mudah.” Sebenarnya, dia tidak tidur sepanjang malam. Sepulang dari perkebunan Jasmine diantar Tedi, dia mandi dan terjaga sampai pagi. Kini, dia mengantuk dan mood-nya memburuk.
“Kalau begitu kamu tidur saja,” balas Sebastian. “Kalau sudah sampai nanti, aku beritahu.” Dia menunjuk Google Map yang terpasang pada ponselnya. “Masukkan alamatmu ke situ. Biar aku antar pulang ke rumah. Kamu nggak perlu ke kantor hari ini.”
Lana mengangguk dan menurut. Dia memasukkan alamat rumah kontrakan Tedi, bukan alamat rumahnya. Selama sisa perjalanan Lana memejamkan mata di kursi penumpang, tetapi tidak tidur. Otaknya sibuk memikirkan anak-anak yang bekerja malam hari memetik melati di perkebunan Jasmine, bayang-bayang penderitaan yang tak kunjung enyah dari pikirannya, menghantui seperti teror. Dia benar-benar terusik dengan apa yang telah disaksikannya itu. Pantas saja, pikirnya, Biyan keras kepala dalam mengulik kasus tersebut. Sekarang dia juga mengerti mengapa Tedi bertingkah sama karena dirinya pun kini turut geram.
Satu setengah jam berikutnya, mereka sampai di ibukota kembali. Sebastian menurunkan Lana di sebuah rumah kontrakan khusus pria di dekat sebuah kampus negeri.
“Kamu kos di tempat pria?” Sebastian bertanya-tanya setelah melihat spanduk yang terpasang di pagar rumah, bertuliskan: Kos Khusus Pria.
“Aku anak pemilik kos. Keluargaku tinggal di lantai satu. Lantai sisanya dikontrakkan. Ayah dan ibuku seharian di sini.” Lana berdalih tanpa keraguan. Dia melempar senyum basa-basi. “Terima kasih tumpangannya.” Dia membuka pintu mobil dan turun.
“Oh, anak pemilik kos.” Sebastian manggut-manggut. “Istirahatlah,” katanya.
Lana meninggalkan mobil Sebastian dan mendekat ke pagar rumah. Pagar itu tidak terkunci dari pagi hingga malam, Lana tahu itu sebab dia pernah beberapa kali mencari Tedi ke sana, bahkan pemilik tempat tersebut kenal dengan dirinya. Lana masuk dan menutup pagar kembali. Dia berjalan cepat-cepat menemui sepasang suami-istri yang sedang menyapu teras rumah. Lana menyalami kedua orang tersebut dan berbicara dengan suara rendah nyaris berbisik. “Saya mencari Tedi,” katanya. “Saya tahu Tedi belum pulang, tapi bisakah saya di sini sebentar?” Dia melirik sekilas ke belakang, pada mobil Sebastian yang belum pergi. “Saya sedang ada masalah.”
Sepasang suami istri itu tahu seperti apa pekerjaan Lana dan Tedi sehingga mereka cepat mengerti. Lana masuk ke rumah tersebut seperti rumahnya sendiri. Pemilik kos merangkul dan menggandeng Lana seperti memperlakukan anak mereka dengan penuh kasih. Barulah setelah mobil Sebastian pergi, Lana keluar dari rumah tersebut. Lana berterima kasih pada pemilik kos karena sudah membantu. Setelah beristirahat selama lima belas menit, Lana meninggalkan rumah kos Tedi dan memesan ojek online untuk kembali ke kantor NBC News & TV.
***
Dua hari berturut-turut Lana tidak lagi mendatangi D’Arcie dengan alasan sakit, tetapi pada hari ketiga dia mengirimkan pesan pengunduran dirinya pada Sekar. Lana pikir, Sekar akan marah-marah padanya atau memaki-makinya, minimal menyebutnya sebagai orang yang tidak tahu terima kasih atau orang yang tidak tahu diri. Akan tetapi, Sekar hanya membalas dengan emotikon senyum dan lambaian tangan. Lana menjadi gondok setengah mati.
“Kenapa dia santai sekali sih?” Lana mendumel di depan laptop yang menyala di ruang kerjanya di NBC News & TV. “Dia lebih mencurigakan daripada Sebastian,” rutuknya.
Hardi menghampiri Lana sambil membawa buku dan pulpen. “Pak Bramono nanya tuh,” katanya, dan duduk di seberang meja. “Kapan kita rapat persiapan peluncuran berita ter-hots itu,” dia menyengir kecil. “Kita tampilkan dalam format dokumenter atau berita biasa?” Dia siap mencatat jawaban Lana, tetapi seseorang datang dengan langkah tergesa-gesa sambil membawa tas gunung di punggungnya. Orang yang beberapa hari lalu membawa Lana ke perkebunan Jasmine, kini sudah kembali ke ibukota dengan penampilan berbeda.