Melati Jam Tiga Pagi

Lia Seplia
Chapter #14

14

Kubikel Lana sesak. Selain tidak cukup luas, terlalu banyak barang di dalamnya. Ada puluhan sisa-sisa pekerjaan yang tidak sempat dirapikan, atau lupa dibuang. Raknya penuh dengan kertas-kertas. Sepertinya penemuan terhit abad ini, fail digitalisasi, masih tabu untuknya—barangkali juga bagi jurnalis lainnya. Lana masih gemar mencetak tulisan atau laporan yang ada ke media kertas, lantas mengoreksinya menggunakan pulpen dan menandai bagian-bagian penting menggunakan stabilo warna-warni. Dia menjadikannya kebiasaan. Karena itu, mejanya penuh dengan alat-alat tulis. Sudut-sudut kubikel dijejali sepatu kets, ransel, serta kardus-kardus. Dinding-dinding pun dipenuhi potongan berita, foto, dan memo.

Lana sedang memelototi puluhan pesan dari dua alamat surel di layar laptop. Dia menemukan peringatan tagihan cicilan pada surel pribadinya, dan pemberitahuan yang berhubungan dengan pekerjaan pada email kantor, serta belasan pesan dari orang tak dikenal yang memberikan laporan aduan masyarakat. Tiba-tiba, ada satu pesan muncul di kotak masuk surel pribadinya, atas nama Sebastian Rudi, saat hendak membuka pesan terkait pekerjaan.

Surel tersebut menarik perhatian Lana. Ini jarang terjadi. Mengapa Sebastian memilih surel alih-alih telepon seluler untuk menghubunginya? Lana langsung mengambil ponselnya yang ada di saku ransel. Dia menyalakan benda itu, memeriksa apakah Sebastian menelepon, tetapi tidak bisa. Ponselnya mati kehabisan daya. Ah, pantas. Lana membatin. Lana bergegas mengecas ponselnya. Setelah itu, dia membuka surel yang dikirim Sebastian.

Seperti ini caramu berterima kasih?

Sependek itu saja isi surelnya. Lana sampai melongo memandangi layar laptop, pada surel yang singkat, padat, dan jelas itu. Sebab, terasa begitu menikam.

“Wah, gawat nih.” Lana menggeleng-geleng. “Aku menciptakan masalahku sendiri. Hebat benar.” Kemudian, Lana tertawa. Bukan karena senang. Justru dia kesal bukan main. Gelak-marahnya lepas begitu saja. Beberapa kru di kubikel lain menoleh padanya sambil mengernyit. Bahkan, Tedi yang baru saja tiba terbingung-bingung memandanginya.

“Apa berita lucu?” Tedi bertanya. “Bagi-bagi dong.” Lelaki itu merapikan benda-benda yang terserak di mejanya sendiri, lalu meletakkan sebungkus roti dan kopi yang baru dia beli.

Lana berdeham pelan, menanggapi. “Orang lain menghindari masalah. Aku justru membuat masalah,” tukas Lana. Dia menghela napas berat. “Dalam keadaan sadar pula.”

Tedi menghampiri Lana dan memandangi layar laptop perempuan itu. Dia membaca tulisan yang tersemat di sana. Tedi pun menyengir lebar. “Selamat! Dapat musuh baru,” katanya, lantas menepuk bahu Lana dengan keras. “Kerja bagus.”

Hardi menemui Lana dengan tergesa-gesa kemudian melapor dengan tak kalah cepat. “Ada yang mencarimu, Lana,” katanya dalam satu helaan napas tertahan sambil menunjuk lantai. “Dia menunggu di lobi. Sebastian Rudi namanya. Dari D’Arcie.”

Lana membelalak. Dia lekas berdiri. Dua tangannya terkepal. Jantungnya menghantam dada dengan keras. Dia menelan ludah gugup. Dipandanginya Tedi dengan sorot mata gentar.

“Akan aku temani,” kata Tedi, lantas meneguk kopinya sampai habis.

Hardi menunjuk langit-langit ruangan. “Aku naik dulu, ya? Biar kulaporkan ini ke Pak Bramono,” katanya, dan mendapat anggukan dari Tedi.

 

***

 

Sebastian meninggalkan kantor dan mengendarai mobilnya dengan tergesa. Semburan lahar panas bak memenuhi kepala dan dadanya. Dia memberi perintah pada Google Map, nyaris menghardik, agar menunjukkan jalan menuju kantor NBC News & TV. Dia baru saja menerima informasi dari Sekar bahwa Lana mengundurkan diri dan kembali bekerja sebagai jurnalis berita dan televisi. Karena itu, Sebastian merasa dikhianati.

Di lobi NBC, Sebastian menanti dengan gelisah bercampur marah. Meskipun ada satu set meja-sofa di sana, Sebastian memilih berdiri dekat pintu kaca. Dua tangannya dalam saku celana. Matanya memperhatikan sekitar. Beberapa kru menatapnya terang-terangnya, sisanya berbisik-bisik. Kemudian, dia melihat Lana menuruni tangga bersama seorang pria.

 Tedi menemui Sebastian dan memperkenalkan diri. Sebastian yang berusaha sopan di kandang orang menjabat balik tangan Tedi dan turut memperkenalkan diri.

“Bapak mencari saya, ya?” Lana mempertanyakan hal yang sudah jelas. Perempuan itu berusaha tenang sembari menyengir kecil di samping Tedi. “Saya kembali kerja di sini.”

Lihat selengkapnya