Melati Jam Tiga Pagi

Lia Seplia
Chapter #17

17

Gara-gara kehadiran Indah Pangila Arcie di rapat internal perusahaan, muka para ketua divisi bersama bawahannya berubah pucat. Masing-masing diam tak berkutik. Wanita paruh baya itu masih bugar dan cantik, selalu ramah dan bersahaja ketika berhadapan dengan publik. Akan tetapi, dia minim basa-basi saat berada di balik layar. Tanpa ekspresi dia menyambangi ruang rapat ditemani sekretarisnya. Tubuhnya yang mungil dipeluk kursi kulit yang besar dan tinggi. Dia berbicara dengan kepala tegak. “Siapa dari kalian yang bertanggung jawab?” Suaranya terkesan menginterogasi.

Muka Sebastian-lah yang paling tertekuk dalam.

Demikian cara Indah Pangila Arcie menyampaikan kepada para pegawai bahwa standar yang dia bangun untuk perusahaan telah rusak. Biasanya dia tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal yang biasanya tidak masuk akal. Jika hanya rumor-rumor yang beredar di media sosial, dia tidak akan semarah ini. Jurnalis sudah buka mulut dan melempar bukti-bukti, tentu saja tidak bisa dianggap enteng lagi. Mendadak dia kehilangan kemampuan bertoleransi dalam memahami keterbatasan orang lain. Para pegawai tampaknya menyadari suasana buruk tersebut sehingga tidak ada satu pun yang berani mengangkat wajah.

“Perusahaan ini menggaji kalian untuk mengikuti sistem yang kami buat,” kata Indah Pangila Arcie. Raut mukanya datar, tetapi caranya menatap membuat nyali lawan-lawannya menciut. Suaranya yang tajam tak kalah menyeramkan.

Dia berkata lagi, “Satu dari kalian harus mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab.” Matanya beralih memandangi Sebastian semata. “Benar, kan Sebastian Rudi?”

Terdengar helaan napas lega dari semua orang kecuali Sebastian.

Sebastian memberanikan diri mengangkat pandangan. Mau tidak mau dia mengangguk dengan berat hati. “Ba-baik, Bu,” katanya agak terbata. “Saya akan bertanggung jawab. Sa-saya akan mundur dari jabatan saya.” Siapa lagi yang paling cocok ditumbalkan selain dia. Divisi dialah yang paling dekat dan erat dengan semua masalah itu.

Indah Pangila Arcie bicara lagi. “Kita akan memperbaiki citra perusahaan, pabrik, dan perkebunan kembali,” katanya pada semua orang dengan penuh penekanan. “Kita harus satu suara menjawab semua pertanyaan yang sedang dilemparkan kepada kita saat ini.” Kepada sekretarisnya, dia menadahkan tangan. Sekretarisnya memberikan tiga lembar kartu pidato. Indah Pangila Arcie membaca dengan suara memerintah.

“Pertama, kita semua sepakat kesalahan terletak pada divisi bahan baku perusahaan. Sebagai bentuk tanggung jawab, ketua divisi tersebut akan digantikan oleh Sekar.”

Sekar yang duduk di belakang Sebastian langsung berdiri dan membungkukkan badan. “Terima kasih,” katanya dengan napas tertahan. “Saya akan bekerja keras untuk perusahaan.”

“Dua,” Indah Pangila Arcie melanjutkan, “Pabrik Mata Aroma akan dibenahi mulai dari struktur sampai operasional. Tiga, pengawasan untuk perkebunan Jasmine akan diperketat, sehingga tidak ada lagi pekerja anak dan upah rendah. Empat, kita akan membantu anak bernama Mala mengobati matanya yang mengalami peradangan dan menyediakan pekerjaan layak untuk seorang pemetik melati bernama Dinar. Kebetulan mereka ibu-anak yang rumah saja tak punya. Kita akan mereka memberi mereka sebuah hunian sebagai bentuk kepedulian perusahaan. Selanjutnya...” Indah Pangila Arcie mengembalikan kartu-kartu pidato pada sekretarisnya, “Khusus divisi humas, gunakan kekuatan artis dan influencer untuk mengalihkan perhatian publik. Ubahlah masalah ini menjadi keuntungan—saya tidak mau tahu bagaimana caranya. Pastikan publik kembali percaya bahwa perusahaan D’Arcie tidak hanya mencari keuntungan bisnis, tetapi turut membantu orang-orang miskin dan lemah,” jelasnya. “Terakhir, apa kalian semua sudah mengerti?”

Semua orang berdiri, menjawab dengan anggukan kepatuhan dan suara penuh semangat. Kecuali Sebastian. Pria itu tertunduk lemas di kursinya dengan kepala tertekuk dan pandangan menghunjam lantai. Diam-diam, di belakangnya, Sekar menyunggingkan senyum tipis.

Menjelang petang, Sebastian sudah selesai mengosongkan meja kerjanya. Dia terpaksa meninggalkan perusahaan yang telah memberinya kenikmatan hidup selama ini. Meski berat, dia harus terima itu. Jadi, dia memasukkan barang-barangnya ke kardus: buku, mug, hiasan meja, salinan catatan-catatan, dan lainnya. Dia menggoyang-goyangkan kardus di tangannya, memberi ruang untuk barang-barangnya yang masih tersimpan di laci meja. Sekar membantu memindahkan barang-barang tersebut.

“Nggak mudah cari kerja baru di tempat baru di usiamu ini,” kata Sekar dengan nada menyayangkan. “Sudah ada rencana lain? Mau buka bisnis?” tanyanya.

Sebastian menggeleng. “Belum aku pikirkan,” jawabnya.

“Maaf, ya,” kata Sekar lagi, “kami nggak bisa mengadakan acara perpisahan untukmu,” biasanya jika ada yang mengundurkan diri pasti dilangsungkan sebuah pesta kecil sekadar membeli piza, donat atau minum soda dingin bersama.

“Kamu pikir aku menginginkan itu?” balas Sebastian dan Sekar menyeringai kecil.

Sebastian menyalami Sekar sebelum pergi. Dia mendekap kardus berisi barang-barangnya dan menatap ruang kerjanya untuk kali terakhir. Dia menarik napas panjang, mengembuskannya dengan tegang, lalu berbalik pergi.

 

***

Lihat selengkapnya