Dinar memasukkan kembali pakaian-pakaiannya ke lemari dengan murung. Padahal tadinya dia sangat bersemangat karena bisa merantau ke tempat yang lebih baik, dijanjikan pekerjaan tetap dengan gaji upah minimum ibukota. Akan tetapi, kini keberangkatan hanya sekadar impian. Sebab, Biyan mendadak menghilang, meninggalkan barang-barang penting tanpa pesan. Hanya dengan melihat isi rumah Biyan yang berantakan, Dinar merasa tidak perlu bertanya apa yang telah terjadi. Mau tidak mau, ingatan Dinar kembali ke sepuluh tahun lalu. Saat memberanikan diri mencari kayu bakar ke hutan dan masuk lebih dalam, dia pikir akan ketahuan karena mengambil hasil alam tanpa izin, sehingga dia meringkuk bersembunyi di balik pohon ketika mendengar beberapa pasang langkah berderap begitu dekat, berprasangka akan mati di tangan aparat pemerintah. Di saat-saat itulah dia melihat beberapa orang datang bukan untuk menangkapnya, tetapi membuang sesuatu ke dalam sebuah sumur tua.
Barangkali, Biyan ada di sana juga. Dan, Dinar tidak berani kembali ke sana. Untuk apa? Dia tidak membutuhkan kayu bakar saat ini. Dia punya minyak tanah dan gas. Lagi pula, Biyan pasti sudah jadi mayat di dalam hutan itu. Layaknya Anton, terbungkus karung.
Mala yang melihat ibunya bersedih, mengajak ibunya bicara sambil membantu melipat pakaian dan mengembalikannya ke dalam lemari. “Kata nenek, kita nggak jadi pindah rumah,” ujarnya, polos. “Jangan sedih, ya, Bu,” dia mencoba menghibur.
Dinar mengulum senyum sedih. “Nggak kok,” katanya, tetapi matanya berkaca-kaca, dia tahan tangisnya sekuat tenaga. “Ibu nggak sedih,” dia berdusta.
Ibunya datang dan memberitahu sesuatu. “Dinar, ada petugas puskesmas yang datang mendata anak-anak,” katanya. “Di rumah Pak Solihin mereka sekarang. Katanya cuma tiga jam. Pergilah,” suruh ibunya. “Minta obat mata untuk Mala.”
“Posyandu itu, Bu,” balas Dinar. “Mala sudah besar.”
“Cobalah ke sana dulu,” kata ibunya, setengah memaksa. “Belum pergi sudah kembali. Minta obat mata untuk Mala.” Dia mengulangi perkataannya.
“Ibu nggak minta obat juga sekalian?” Dinar melirik lutut ibunya yang terlihat baik-baik saja, tapi sebenarnya sudah rapuh dan sakit. “Ayo pergi bertiga.”
Maka, berangkatlah ketiganya menuju rumah Pak Solihin dengan berjalan kaki. Memakan waktu hampir sepuluh menit. Rumah Pak Solihin bagus, punya halaman yang luas sehingga pegawai puskesmas selalu memilih tempat itu saat dinas lapangan. Sesampai di sana, sudah banyak orang mengantre memeriksakan anak-anak mereka. Petugas puskesmas yang berkantor di pinggir kabupaten hanya mengunjungi pemukiman perkebunan sekali sebulan, kadang-kadang tidak datang. Apalagi jika cuaca buruk dan jalanan rusak parah.
Dinar mengambil nomor antrean. Dia menunggu bersama Mala. Para lansia lebih cepat mendapat pemeriksaan karena antreannya sangat sedikit. Anak-anak dan orang dewasa yang banyak. Ibu Dinar kembali ke sisi Dinar sembari membawa sekantong obat setelah diperiksa dokter umum. “Kok obatnya masih sama?” Dinar memeriksa bungkusan obat ibunya itu.
“Ibu disuruh rajin-rajin jalan kaki.” Ibu Dinar memberitahu. “Sudah ibu bilang, kaki ini masih sehat,” katanya sambil menepuk-nepuk lututnya. “Harus rajin dibawa jalan.”
Dinar tidak terlalu mengerti, apakah benar lansia yang mengalami perapuhan tulang harus banyak-banyak jalan? Jadi, dia diam saja dan mengembalikan obat ibunya ke dalam bungkusan. Setelah menunggu sedikit lebih lama, nama Mala akhirnya dipanggil. Dinar menemani Mala saat perawat mengukur tinggi dan menimbang berat badan Mala. Dinar juga duduk di samping Mala saat dokter umum memeriksa mata anaknya itu.
“Apa bisa dirujuk ke dokter mata, Bu?” Dinar bertanya.
“Kalau mau dirujuk ke dokter mata, harus mendapat perawatan puskesmas dulu,” kata dokter itu. “Kenapa nggak ibu bawa anaknya ke puskesmas?”
“Jauh, Bu.” Dinar menjawab.
“Ada lho, orangtua yang menempuh ratusan kilometer dan arus sungai demi mengantar anaknya sekolah, agar anaknya pintar. Ini anak ibu lagi sakit, masa ibu mengeluhkan jarak puskesmas dari rumah ibu,” komentarnya, pedih. “Nggak mau anaknya sehat?”
Dinar menyeringai pahit. “Bukan begitu maksud saya, Bu,” katanya. “Karena sayang sama anak, makanya saya minta anak saya dirujuk ke dokter khusus mata saja.”
“Kalau saya lihat sih, mata anak ibu menderita radang. Sering dikucek-kucek ini, terus luka,” katanya. “Kita kasih salap saja dulu, ya. Kalau nggak sembuh juga, ibu bawa ke puskesmas. Nanti kami rujuk ke rumah sakit khusus mata.” Dokter tersebut menuliskan resep.
“Nggak bisa sekarang saja kasih surat rujuknya, Bu?” Dinar bertanya lagi.
“Nggak bisa, Bu.” Dokter tersebut menggeleng. “Pasien harus diobati dulu di tingkat puskesmas, setelah itu dirujuk ke rumah sakit jika memang perlu penanganan lebih lanjut. Lagian, kami nggak bawa printer. Surat rujuknya harus diketik dulu, terus dicetak, terus distempel, biar bisa ibu bawa ke rumah sakit.” Dokter itu menyerahkan resep obat atas nama Mala ke meja sebelah. “Antre ke sebelah lagi, ya. Tunggu obatnya.”
Dinar mengangguk saja. Dia bawa Mala mengantre sekali lagi.
Setelah sedikit lebih lama menunggu, Dinar akhirnya menerima bungkusan obat atas nama anaknya. Dinar langsung memeriksa isinya. Namun, yang Dinar terima hanyalah salep mata yang biasa dia beli di apotek pasar, obat yang sama yang diberikan Kakek Andi selama ini. Tidak ada bedanya. Bahkan nama dan bentuk dan warnanya mirip. Dinar mengeluh sekali lagi. “Ini nggak mempan,” katanya, membawa Mala dan ibunya kembali ke rumah.
“Bersyukur sajalah sudah dikasih obat,” kata ibunya.
“Apanya yang perlu disyukuri kalau obatnya nggak mempan?” Dinar malah mengomel. “Kenapa yang datang ke sini selalu dokter umum? Masih muda-muda pula, belum banyak pengalaman. Kenapa mereka nggak pernah bawa dokter spesialis? Spesialis tulang, spesialis anak, kan bisa. Dokter umum mana tahu tentang mata dan tulang.”