Pak Jeki, ketua RT setempat, membawa rombongan D’Arcie yang datang beramai-ramai ke pemukiman miskin wilayahnya menuju rumah Dinar. Pak Jeki langsung tahu yang dicari rombongan itu adalah salah satu warganya setelah seseorang dari mereka memperlihatkan potongan gambar wajah Dinar dan Mala. Kunjungan itu langsung diketuai oleh Indah Pangila Arcie, membawa serta tim kamerawan perusahaan untuk mendokumentasikan momen itu.
Dinar yang saat itu tengah menjemur pakaian di depan rumah, langsung menarik Mala ke sisinya dan menyuruh ibunya masuk rumah. Dinar memblokir pintu sembari melindungi Mala di punggungnya. “Untuk apa kalian mencari saya?” Dinar bertanya tanpa basa-basi. Bahasa tubuh dan nada bicaranya menunjukkan kesiagaan atas ancaman.
“Eh, Dinar.” Pak Jeki malah memelototi perempuan itu. “Nggak sopan kamu ini. Mereka yang punya perusahaan parfum yang dikerjakan pabrik dan perkebunan.” Pak Jeki bicara tanpa paham apa pun. “Parfum Arcie-Arcie. Itu saja kamu nggak tahu,” tukasnya, berlagak hebat.
“D’Arcie,” Dinar mengoreksi. “Nyebut itu saja salah,” dia membalas sengit.
Pak Jeki langsung menyelamatkan muka dengan alasan payah. “Maaf, ya, bapak-bapak dan ibu-ibu yang terhormat,” katanya, sambil cengar-cengir. “Dinar ini hanya tamat SMA. Tolong dimaklumi saja. Kelakuannya memang kurang baik. Mana janda pula. Nggak punya ayah. Nggak ada yang mengajarinya sopan santun. Hehehe.”
“Bapak tamatan apa?” Sekar yang tergabung dalam rombongan bertanya dengan nada memojokkan. “Bapak sesantun apa? Bapak punya istri dan ayah? Sudah diajari sopan santun atau belum?” Sekar meneror tajam. “Bapak yang harus diajari. Tolong minggir,” katanya, mengibaskan tangan karena Pak Jeki menghalangi pandangan Indah Pangila Arcie untuk bertatap muka dengan Dinar.
Dinar terenyuh atas pembelaan yang dilakukan oleh seorang wanita tinggi-cantik di hadapannya itu, yang berdiri di samping seorang nenek-nenek yang pakaiannya tampak sederhana sekaligus mewah. Dinar menurunkan penjagaannya. Pegangannya pada Mala mengendor dan dia bergerak maju selangkah setelah Pak Jeki bergeser ke samping.
“Apa yang kalian inginkan dari saya?” tanya Dinar, tanpa berbelit-belit. “Apa karena rekaman video jurnalis itu kalian mencari saya?” Dia menebak dengan jelas. “Saya butuh uang. Jadi, saya terima tawaran jurnalis itu.” Mata Dinar bergerak memperhatikan sekitar. Dalam rombongan itu, ada empat orang yang membawa kamera, tampak sedang merekam.
Indah Pangila Arcie tersenyum lembut menanggapi. “Kami tidak mencarimu karena marah atau dendam,” katanya, terdengar keibuan. “Nak, saya mencarimu karena terkesan.” Indah Pangila Arcie lantas menunjuk para kamerawan yang sempat dilirik Dinar barusan, seolah tahu isi pikiran Dinar. “Mereka jurnalis perusahaan kami. Mereka merekam kita. Apa yang terjadi di sini akan sampai ke publik. Saya tidak akan melakukan apa-apa padamu.”
Dinar mengerutkan kening. “Termasuk saat Pak RT mengejek saya janda?” balasnya, tak terduga. “Kasih tahu saja semua orang di ibukota. Saya nggak peduli.”
“Itu akan diedit.” Sekar menanggapi. “Bagian saya mengomel tadi juga.”
Indah Pangila Arcie mempersempit jaraknya dengan Dinar. Tangannya mengelus lembut bahu Dinar yang kurus agak bungkuk. Dia tersenyum, lalu mundur beberapa langkah kembali. “Terima kasih sudah bersuara,” katanya. “Berkat kamu, saya jadi tahu apa yang terjadi dengan perusahaan. Saya jadi tahu ada pekerja anak di bawah umur yang memetik melati.” Raut wajahnya mengiba. “Saya tidak ingin parfum saya dibuat dengan mengorbankan anak-anak.”
Dinar terdiam, diam-diam mengembuskan napas yang sempat tertahan.
Indah Pangila Arcie menadahkan tangan pada Sekar. Sekar buru-buru merogoh kantong bawaannya dan mengeluarkan sebuah kunci. Indah Pangila Arcie menyerahkan kunci itu pada Dinar. “Kami memberimu rumah yang layak di ibukota sebagai ucapan terima kasih sekaligus permintaan maaf,” katanya. Dia meraih tangan Dinar, meletakkan benda itu di sana.
“Ru-rumah?” Dinar bertanya, bingung. “Di ibukota?”
Indah Pangila Arcie mengangguk, masih dengan senyum hangatnya. “Ayo obati mata anakmu di rumah sakit khusus mata.” Indah Pangila Arcie mencuri pandang ke balik bahu Dinar, menemukan seorang anak perempuan dengan tubuh kecil. “Halo, gadis manis,” sapanya pada Mala yang mengamati dengan pandangan takut-takut. “Ayo keluar. Jangan sembunyi dong. Kami tidak jahat kok. Kami hanya ingin membawamu berobat mata,” katanya.
Mala masih bertahan di belakang ibunya, tidak bersuara.
Dinar yang membalas. “Rumah sakit khusus mata?” Dia mulai terbujuk.
“Langsung pada ahli mata.” Sekar menjelaskan. “Gratis. Sampai mata Mala sembuh.” Sekar merogoh kantong bawaannya lagi dan mengeluarkan sebuah surat berisi tawaran pekerjaan. “Staf gudang D’Arcie kebanyakan tamatan SMA kok,” katanya, yang mendapat anggukan pelan dari anggota lain. “Kamu bisa bekerja sebagai staf gudang kami.”
Dinar menerima surat itu, tapi hanya membaca judulnya, belum tertarik pada isinya. “Kenapa kalian baik pada saya?” Dia bertanya, masih enggan percaya sepenuhnya. Sebab, Biyan masih hilang, tak ditemukan jejaknya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan orang-orang D’Arcie. Biyan jelas-jelas telah menjatuhkan pamor D’Arcie dengan fakta dan data.
“Saya menghargai keberanianmu,” kata Indah Pangila Arcie. “Menjadi pemeran utama pemberitaan jurnalis NBC jelas dipenuhi risiko. Tapi, kamu menerimanya.”
“Saya ditawari uang.” Dinar menerangkan. “Anak saya butuh berobat.”
“Ayo pindah ke ibukota.” Sekar yang kali ini membujuk. “Ini kesempatan baik yang hanya datang sekali seumur hidup. Kalau kamu menolaknya, kami tidak rugi. Kamu akan selamanya tinggal di sini dan memetik melati sampai mati. Mata anakmu juga akan buta.”
Dinar memegangi tangan Mala erat-erat.
“Hari ini kami datang membantumu beres-beres.” Sekar menjelaskan. “Lalu, kita naik mobil ke kota. Sesampai di sana, pertama-tama kita langsung menemui dokter mata. Setelah itu, kita ke rumahmu yang sudah disiapkan perusahaan. Tidak besar, tapi layak.”
Mata Dinar mengerjap pelan. Keningnya mengerut samar. Dia menimbang dengan keras. Jika menolak, dia akan mendekam selamanya di kabupaten miskin Matari dan bekerja sampai mati memetik melati. Mala akan tumbuh besar sepertinya. Tidak boleh, pikir Dinar. Mala harus belajar di sekolah bagus, sehat tidak bungkuk, dan bekerja sebagai pegawai negeri sipil di ibukota—cita-cita Dinar yang tidak terwujud. Ini kesempatan bagus untuk merantau ke kota, hal yang selama ini tidak bisa dan tidak sempat Dinar lakukan.
“Kalian mempekerjakan saya juga?” Dinar memastikan dia tidak hidup terkatung-katung tinggal di ibukota. Sebab, dia tidak memiliki keahlian apa-apa selain memetik melati.
Sekar mengangguk. “Gaji staf gudang antara lima sampai tujuh juta,” dia memberitahu. Dinar menelan ludah. “Nominalnya cukup besar karena pendapatan perusahaan juga besar. Kalau staf gudang di perusahaan lain sih mungkin hanya dua sampai tiga juta,” katanya, jujur. “Kami benar-benar datang untuk membantumu. Sebagai gantinya, video kunjungan ini kami unggah di akun YouTube perusahaan.” Sekar dengan jujur memaparkan. “Sama seperti yang dilakukan jurnalis itu. Ini disebut kerja sama. Dua pihak saling untung.”
“Di mana mereka sekarang?” Dinar bertanya, penasaran.
“Di kantor mereka.” Indah Pangila Arcie mendahului Sekar menjawab. “Ayo, Nak, kita bereskan barang-barangmu sekarang,” ajaknya. “Kami tidak punya banyak waktu di sini.”
Dinar akhirnya menurut. Dia ingin Mala hidup layak. Itu saja.
***
Lana sedang asyik bersenda gurau dengan dua resepsionis NBC di konter lobi saat enam petugas kebersihan memasuki kantor mereka. Jadi, gadis-gadis itu berhenti bercerita dan memandangi tamu-tamu tersebut. Salah satu resepsionis bertanya, “Ada apa ya, Pak?” dengan nada heran sekaligus malas. “Ada keperluan apa?”
Salah satu petugas menjawab, “Kami dari dinas kesehatan, Bu,” katanya.