Dinar dan Tedi telah sampai di hutan, jauh dari pemukiman penduduk miskin pinggiran Matari. Keduanya mencari-cari sumur tua yang terlupakan oleh waktu.
“Kamu yakin Biyan ditawan di sini?” tanya Tedi, meragu.
“Aku nggak yakin,” balas Dinar, menggeleng lemah. Dia pun mengulang cerita yang sama. “Tapi, waktu aku masih 15 tahun dan sedang mencari kayu, aku melihat seseorang dimasukkan ke sebuah sumur di hutan ini. Sejak saat itu ada larangan untuk nggak masuk ke hutan lebih jauh,” beritahunya. “Seingatku dia benar aktivis mahasiswa bernama Anton.”
“Ini negara atau neraka sih,” oceh Tedi. Dia mengamati sekeliling dengan dua tangan di pinggang. “Jadi, kita harus masuk lebih jauh?” tanyanya. Dinar lekas mengangguk. “Kalau begitu, aku akan bikin tanda silang di pepohonan yang kita lewati.” Tedi mengambil alih peralatan yang dibawa Dinar. Dengan menggunakan pisau, dia merobek kulit pohon dan membuat huruf X besar-besar. “Kita harus mengikuti tanda ini saat kembali nanti.”
“Aku mengerti,” balas Dinar. “Ayo.”
Jadi, mereka menyusuri hutan lebih jauh lagi. Semakin masuk ke dalam labirin hijau tak berujung. Menit demi menit berlalu. Cahaya matahari yang menembus celah-celah pohon dan dedaunan seakan memberi bantuan penerangan, sementara bayangan besar dari pohon-pohon raksasa seolah mencoba menelan mereka. Tahu-tahu mereka sudah semakin jauh saja.
Sumur itu tersembunyi di antara pepohonan rimbun dan semak belukar yang menjalar, seakan ingin menutupi jejak yang pernah ada. Berada di antara akar pohon kembar yang menyerupai telapak kaki manusia. Dinar memang telah tumbuh dewasa, tetapi ingatan masa kecilnya tidak lekang oleh waktu. Kejadian mengerikan dulu masih terpatri di kepalanya, membayang serupa hantu. Dan kini, sumur tua itu masih ada di sana, bersama kerangka manusia yang entah sudah berapa di dalamnya. Dinar mengingatkan Tedi untuk hati-hati.
Sumur itu terlihat sangat tua dan menakutkan, dikelilingi oleh dinding batu yang sudah mulai runtuh. Terdapat jaring laba-laba besar yang menggantung di sekitar mulut sumur, menandakan bahwa tempat ini sudah lama ditinggalkan. Suasana sekeliling sangat mencekam. Kicau burung terdengar merintih. Angin mendesir sendu, seakan berusaha memperingatkan.
Tedi mengamati kedalaman sumur itu dengan teliti sedang Dinar membantu memberi penerangan dengan senter. Namun, kegelapan terlalu pekat sehingga tidak terlihat apa-apa.
“Aku akan masuk.” Tedi mulai menyiapkan tali dan peralatan lainnya.
“Aku berjaga di sini,” tukas Dinar.
Tedi menurunkan tali ke dalam sumur sembari memastikan semuanya terikat dengan sangat kuat. Dinar memeriksa ulang kondisi tali dan memasangnya dengan sangat hati-hati agar tidak terjadi kecelakaan saat Tedi menuruni sumur.
Setelah persiapan selesai, Tedi mulai turun ke dalam sumur dengan tali yang diikatkan pada pinggangnya dan batang pohon. Suasana di dalam sumur sangat menakutkan, tetapi Tedi tidak mengurungkan niatnya. Ketika kakinya menyentuh dinding bagian dalam sumur, dia merasakan ada kotak-kotak pijakan yang bisa dicengkeram dan dipakai mengganjal kaki.
“Biyan?” Tedi mencoba berteriak. “Biyan!” Dia mencoba dengan lebih keras. “Kalau kau masih hidup dan ada di bawah sana, jawablah!” katanya. “Ini aku. Tedi!”
Untuk sesaat tidak ada balasan, Tedi sampai meragu melanjutkan niatnya menuruni sumur. Tidak ada yang tahu seberapa dalam dan aman sumur tua itu. Tali yang membantunya turun-naik juga tidak cukup panjang dan tidak cukup aman untuk dibawa lebih jauh lagi.
Kemudian Tedi menginjak sesuatu. Sangat keras sekaligus cukup lunak. Seperti sebuah tempurung. Dia mencoba menghantamnya dengan lebih keras.
“Keh-pala-khu.”
Suara seseorang, sangat lirih menyamai bisikan. Tedi mendengarnya. Dari bawah kakinya, rintihan itu sangat jelas. Tedi menahan napas. Dia menelan ludah gugup. “Si-siapa kau?” Tedi bertanya dengan terbata, membangunkan seluruh ketakutan yang dia punya.
“Tedh,” balas seseorang itu, menyerupai rintihan. “Akh-khu....”
Tedi berteriak keras-keras ke langit-langit. “Dinar! Dia di sini!”