Di pagi yang terlalu muram, Biyan berdiri di tepi trotoar dengan kondisi yang mengenaskan seakan baru keluar hidup-hidup dari neraka. Matanya terpaku memandangi gedung NBC News & TV yang terbakar, yang sebagiannya telah menjadi abu dan tinggal kerangka. Sisa-sisa asap masih menggulung ke langit, mengalir seperti selimut hitam yang menutupi sebagian kawasan. Gedung yang dulu menjulang tinggi dengan gagah dan penuh keberanian, kini menyisakan jelaga kesedihan dan keputusasaan.
Biyan melangkah lebih dekat. Suara sirene ambulans dan mobil pemadam kebakaran bersaing dengan detak jantungnya yang membara. Dia memasuki tempat itu seperti orang kebingungan, mencari satu-dua orang yang masih selamat, yang bisa dia mintai keterangan mengenai apa yang telah terjadi. Mengapa kantor tiba-tiba kebakaran? Sembari melangkah menelusuri sepenjuru kerangka gedung yang tersisa, mata Biyan menangkap serpihan-serpihan kaca jendela di lantai, dokumen-dokumen yang telah menjadi abu, serta alat-alat siaran yang hangus terbakar. Api telah melahap setiap lantai, meremukkan tempat itu dalam sekejap.
Biyan merasakan rasa sakit yang amat mendalam. Menyadari bahwa tempat yang dulu merupakan pusat dari segala aktivitasnya bersama rekan-rekannya, berubah menjadi arena kemenangan api. Gedung itu bukan hanya tempat kerja untuknya, melainkan juga rumah bagi ribuan berita penting. Di setiap sudut ruangan memiliki kenangan tersendiri, betapa keras dan seriusnya dia dan rekan-rekannya dalam menyiapkan berita dan tayangan-tayangan penting, rapat editorial yang sengit, serta saksi kegembiraan dan kesedihan selama bertugas. Semua itu kini lenyap dalam kobaran api yang perlahan padam.
Para petugas pemadam kebakaran berlarian ke setiap sudut bangunan. Wajah mereka tertutup masker. Kepala mereka memakai helm pelindung. Mereka berjuang keras melawan sisa-sisa kebakaran, mengarahkan selang-selang besar ke lidah api yang masih menyala, menembakkan air dengan tekanan tinggi untuk memadamkan kobaran yang masih berusaha melalap struktur bangunan. Setiap dorongan air dalam selang, setiap daya upaya pemadaman, menjadi pertempuran terakhir untuk menyelamatkan apa yang masih mungkin diselamatkan.
“Keluar!” teriak salah satu petugas pada Biyan yang kelimpungan memasuki gedung, grasah-grusuh memandangi sekitar. “Apa yang kau lakukan di sini? Keluar!” teriaknya.
Biyan tidak kunjung merespons. Dia terperangkap dalam gelembung udara ketakutan dan kebingungan. Dia menyaksikan semua kekacauan di depan mata dengan hati yang terbelah. Dalam benaknya, membayang-bayang ribuan arsip yang penuh berita penting, rekaman-rekaman bersejarah, dan laporan-laporan berharga hancur dalam bara api.
Kedua tangan Biyan terkepal erat. Napasnya memburu seiring kemarahan bercokol di dadanya, menusuk dengan sangat kuat. D’Arcie, berengsek! Biyan membatin. Siapa lagi yang bisa melakukan semua kekejaman di depan matanya itu selain pejabat pemerintahan dan pebisnis keluarga konglomerat. Biyan yakin sekali kantor NBC dibakar dengan sengaja gara-gara menyiarkan berita yang mampu mencabik nama dan harga diri D’Arcie serta mengulik kinerja pemerintahan Kabupaten Matari. Tidak mungkin kantor NBC kebakaran gara-gara hal sepele. Jika ya, kobaran apinya tidak akan seganas itu, hingga melahap setiap sudut gedung.
Malam itu, dengan binar mata yang tersaput kemarahan, Biyan bertekad untuk tidak tinggal diam. Dia akan mencari tahu kebenarannya. Apa yang sebetulnya telah terjadi? Untuk itu, pertama-tama, dia perlu menemukan Bramono dan Lana terlebih dulu. Apakah keduanya baik-baik saja? Kenapa tidak ada satu pun rekannya yang menampakkan diri?
***
Biyan berdiri lunglai di pemakaman Bramono. Bahunya membungkuk dan kepalanya tertunduk. Wajahnya menjadi kuyu dan mulutnya seakan membisu. Bau tanah basah bercampur wangi kamboja tidak hanya mencabik udara di sekitarnya, melainkan juga kepala dan hatinya. Lahan hijau tempat peristirahatan terakhir itu bising oleh pelayat. Teman-teman, kerabat, dan kenalan Bramono berdatangan. Suasana agak temaram, sebab matahari hampir tenggelam, sisa-sisa sinarnya menyelinap masuk melalui celah-celah pepohonan rindang.
“Biyan?”
Hardi, salah satu staf NBC yang selamat, menyapa. Dan, Biyan mengenal rekannya itu dalam sekejap. Hardi tidak menunggu jawaban, bergegas menghampiri Biyan, lalu memberi pelukan erat. “Syukurlah kau di sini,” ucapnya lirih.
Ekspresi penyesalan segera tergambar di wajah Biyan. Dia menatap balik Hardi. “Lana masih koma di rumah sakit?” tanyanya.
Hardi mengangguk singkat. “Seenggaknya dia masih punya harapan hidup,” balas Hardi, kemudian celingak-celinguk sebelum bertanya lagi, “Di mana Tedi?”
“Seharusnya dia sudah kembali,” balas Biyan. Perlahan, perasaannya disusupi perasaan tidak nyaman. Benar juga pertanyaan Hardi, di mana Tedi? Kenapa temannya itu belum muncul? Apa yang dilakukan Tedi saat ini? Apa dia sudah tahu kantor NBC kebakaran, Bramono meninggal dalam insiden itu, dan Lana tengah koma di rumah sakit?