Melati Jam Tiga Pagi

Lia Seplia
Chapter #22

22

Dinar mengenakan kemeja putih dan celana panjang berbahan kain warna hitam serta sepatu kets. Dia mencepol tinggi rambutnya di puncak kepala dan merias wajahnya setipis mungkin. Di dadanya, ada lanyard kepegawaian perusahaan D’Arcie atas nama dan foto dirinya. Dinar mengikuti Sekar ke lantai sebelas D’Arcie di hari pertamanya bekerja. Sekar membawanya menemui Kepala Gudang Penjualan Parfum D’Arcie. Dinar memperkenalkan diri sebagai karyawan baru. Setelah menjalani dua minggu orientasi yang singkat, Dinar resmi bekerja sebagai karyawan tetap. Dia mampu menyesuaikan diri dengan cepat sehingga tidak menyulitkan rekan-rekannya yang lain.

Di tempat itu, hari-hari baru Dinar dimulai. Meskipun yang dia lihat setiap hari adalah kardus-kardus berisi botol-botol parfum dalam berbagai jenis dan ukuran, serta terperangkap dalam rak-rak tinggi di ruangan besar bersuhu rendah, Dinar malah menyukai pekerjaan barunya itu. Sebab, dia tidak perlu lagi bangun pukul dua pagi dan mengajak anaknya memetik melati ke perkebunan, bertarung dengan waktu serta pemetik lain yang memiliki kekuatan tangan yang sigap dan cepat. Kini, dia hanya perlu bangun pukul lima pagi, dan karena tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari perusahaan, dia berangkat pukul enam dan sampai di tempat kerja pukul setengah delapan. Dia melakukan apel pagi, memeriksa stok parfum, membuat laporan keluar-masuk barang, menyetok ulang persediaan, mengeluarkan stok parfum dari gudang, mengisi lembaran-lembaran instrumen kerja, lalu pulang pada pukul enam sore. Dia menerima gaji tetap setiap bulan, tak lagi dirundung ketidakpastian.

Saat di rumah, Dinar tidak lagi melakukan pekerjaan rumah tangga sendirian. Ibunya membantu memasak, mencuci pakaian, dan menyetrika. Dinar hanya menyapu rumah sekali seminggu berkat rumahnya yang kecil serta tidak ada tamu. Kini, Dinar memiliki ruangnya sendiri yang selama ini tidak dia miliki. Dia juga memiliki waktu untuk mengajari anaknya mengenal huruf dan angka, sebab tahun berikutnya Mala sudah harus masuk sekolah dasar.

“Sudah malam. Ayo, tidur. Besok kita sambung belajarnya,” ujar Dinar saat menutup buku latihan mengeja. Mala langsung turun dari kursi-meja belajar dan naik ke tempat tidur.

Dinar menyusul Mala ke tempat tidur. Berdua mereka tidur di ranjang yang sama dan kamar yang sama. Ibunya ada di kamar lain dan tidur sendirian.

“Ibu besok kerja lagi?” tanya Mala.

Dinar menyelimuti dirinya dan anaknya itu. “Ya. Kenapa?”

“Aku nggak perlu ikut kan?” tanya Mala.

Dinar mengusap pelan kepala anaknya itu. “Nggak perlu,” balas Dinar, lembut. “Kamu tugasnya belajar dan bermain saja, lalu menjaga nenek. Biar ibu saja yang kerja.”

“Kata nenek, ibu nggak memetik melati lagi,” ujar Mala.

“Ya. Kita kan sudah pindah. Kita sudah jauh dari perkebunan,” jelas Dinar. “Kita sekarang tinggal di kota. Kamu lihat sendiri jalanannya macet dan banyak gedung-gedung tinggi.” Mala mengangguk cepat-cepat. “Kamu nggak perlu ikut ibu kerja lagi.”

“Aku benci bunga melati,” ujar Mala penuh penekanan. Hidungnya mengembang-mengempis dengan lucu seperti tikus yang mencari aroma keju. “Baunya bikin aku kesal!” Sepasang tangannya meremas udara. “Aku nggak mau memetik melati lagi.”

“Kok baunya bikin kamu kesal?” tanya Dinar.

“Baunya bikin aku terbayang harus bangun malam-malam dan bekerja ke perkebunan lagi,” jawab Mala. “Pokoknya kalau aku mencium bau melati, aku jadi membayangkan itu. Aku nggak suka.” Kepalanya menggeleng kuat-kuat. “Aku benci melati.”

Dinar mengusap pelan area sekitar mata Mala dengan jemarinya. “Syukurlah kita nggak perlu melakukan itu lagi,” katanya. “Dan matamu juga sudah mulai sembuh.”

“Mataku nggak gatal-gatal lagi!” kata Mala, antusias. “Obat Pak Dokter ajaib. Lebih bagus daripada obat Kakek Andi.” Dinar sampai tersenyum-senyum sendiri. “Besok-besok kalau aku sakit, aku berobat sama Pak Dokter saja ya, Bu. Nggak mau ke Kakek Andi lagi.”

Dinar terbahak. “Ya, sudah,” katanya, memperbaiki selimut mereka. “Ayo, tidur.”

“Aku senang di sini.” Mala bergelung dalam dekapan ibunya. “Aku senang bisa bangun siang, makan ayam goreng, dan belajar baca. Aku juga menonton film kartun di televisi bersama nenek. Aku punya kamar bagus. Bajuku juga bagus-bagus. Makasih ya, Bu.”

Mendengar itu, mata Dinar menjadi berembun. Dia tidak sanggup membalas dengan suara, melainkan anggukan dan belaian lembut pada punggung Mala.


***


Lihat selengkapnya