Tamu itu belum juga pulang. Sudah hampir maghrib Bunda masih asyik berbincang dengannya. Huuh, aku kesal! Ini sudah waktunya makan tetapi belum ada satu pun lauk pauk di meja. Bunda belum masak. Begitulah ibu-ibu, kalau sudah mengobrol pasti lupa waktu. Lalu Bunda memanggilku. Ih, aku malas bertemu dengan oranglain.
“Dek, sini! Ini ada Mihel, anaknya Bu Mega. Ayo sini kenalan.”
Rupanya tamu itu membawa anaknya. Iih, pasti anak itu memandangku terus. Anak itu pasti heran melihatku. Aku memasang wajah tidak suka kepada Bunda. Bunda malah tersenyum menghampiri. Aku digendong. Ya sudah, mau bagaimana lagi.
“Dek, ini loh namanya Mihel, dia bakal jadi temen baru kamu. Mulai besok Mihel bersama ayah dan ibunya tinggal di samping rumah kita”
Aku melihat raut muka Mihel. Tidak ada satu pun ekspresi rasa heran di wajahnya. Justru aku yang heran. Dia malah tersenyum ramah. Dari dahulu aku pandai membaca ekspresi heran. Karena setiap orang yang melihatku, pasti ekspresinya seperti itu. Tetapi kali ini beda, Mihel berbeda.
“Hai Hilva!” dia menyapa, aku diam saja. Jantungku berdetak kencang. Seperti yang telah kalian ketahui, kawan, aku takut bertemu oranglain. Seperti inilah. Apalagi jika bertemu anak sebayaku. Aku takut. Takut dengan tatapan matanya. Karena setiap orang yang kutemui, pasti tidak henti-hentinya menatapku dengan tajam. Lalu kupalingkan wajah. Padahal, aku tidak tahu apakah tatapan Mihel tajam atau tidak. Bunda membaca perasaanku. Beliau membawaku kembali ke dalam rumah.
“ Hehe … Hilvanya masih malu-malu” Bunda berkata kepada Mihel. Bu Mega hanya tersenyum.
“Tidak apa-apa. Nanti juga akrab” Bu Mega menimpali.
***
“Hilva … main yuk … kita main sepeda.” Dari depan pagar, Mihel berteriak.
“Dek, itu diajak main sama Mihel, ayo sana main” kata Bunda berbisik.
“Bunda, aku kan nggak bisa naik sepeda, aku nggak mau ah, di rumah aja.”
“Udah, samperin dulu aja. Yuk, Bunda anter”
Aku pasrah.
“Halo Mihel, ini Hilvanya. Main bareng ya ….” Kata Bunda.
“Iya, Bundanya Hilva,” Mihel menjawab.
Bunda mendudukkanku di jok belakang sepeda Mihel.
“Hati-hati ya ….” Bunda melambai sembari masuk kembali ke dalam rumah.
Mihel membawaku pergi. Bunda sudah tak terlihat lagi. Aku takut. Ini pertama kalinya aku bermain bersama teman sebayaku. Aku diam saja. Sepeda Mihel belum berhenti juga. Jauh sudah jarak dari rumah kami. Aku semakin takut. Belum pernah aku pergi tanpa Ayah atau Bunda sampai sejauh ini. Tapi, mengapa Bunda tidak melarangku? Tidakkah merasa khawatir akan anaknya ini?
“Hilva, Ayo kita turun!” Mihel mengulurkan tangannya.
“Eh, iya ayo turun”
“Kita harus jalan sedikit lagi. nggak apa-apa kan?”
Hah? Jalan? Berarti aku harus merangkak? Betapa malunya aku merangkak di samping orang yang baru saja kukenal. Tetapi, mau bagaimana lagi? tidak ada yang bisa menggendongku. Mihel tidak akan kuat. Aku mengiyakan saja. Ia berjalan perlahan di samping. Tidak mendahuluiku sedikit pun. Sebenarnya aku merasa tidak enak dengannya. Jalannya jadi lambat sekali. Pasti dia tidak sabar.
“Hilva, kita sudah sampai! Coba kamu lihat ke depan”