“Ayah! Kamu kan tahu anaknya seperti itu? Bagaimana perasaan dia nanti?” Teriak Bunda.
Meski aku berada di dalam kamar, tentu saja terdengar. Suara mereka begitu kencang. Walau seringkali Ayah mengingatkan Bunda agar tidak berbicara keras. Namun kemarahan Bunda tak tertahankan. Aku tahu apa yang membuat Bunda marah. Aku tahu segala pembicaraan mereka beberapa jam ini. Aku mengerti, walau usiaku ‘masih’ tujuh tahun. ‘Masih’ tujuh tahun? Kata ‘masih’ tidak tepat digunakan saat ini. Seharusnya ‘sudah’. Aku ‘sudah’ tujuh tahun tetapi masih belum juga bersekolah. Sudah telat. Seharusnya aku sudah duduk di kelas dua SD, seperti Mihel. Tadi Ayah berkata seperti itu. Bunda marah. Belum siap aku sekolah, katanya. Bagaimana jika aku menjadi olok-olokkan satu kelas? Atau bahkan satu sekolah? Tentu aku setuju dengan Bunda. Tetapi aku juga tidak mau bodoh. Kata Ayah, sekolah membuat pintar. Jadi, yang tidak bersekolah berarti bodoh kan?
Aku teringat ketika bermain di pantai kemarin. Bukankah bermain dengan Mihel itu seru? Bukankah Mihel adalah teman sebayaku? Aku memiliki satu teman sebaya, dan itu seru. Apalagi kalau nanti di sekolah banyak teman sebayaku? Ooh sungguh seru kubayangkan. Masalahnya, lebih banyak teman, lebih banyak pula tatapan heran yang kubenci itu. Ah, biarlah. Biar orang tuaku yang mengambil keputusan.
“Assalamu’alaikum ..., Hilva!!!” Mihel memanggilku dari depan pagar. Bunda datang, menggendongku menemui Mihel. Kami memang sudah berencana untuk ‘latihan menggunakan tongkat’ di pantai.
“Hati-hati ya …,” pesan Bunda
“Baik, Bunda ….”
***
Tongkat yang sedari tadi kubawa, mulai ditapakkan ke pasir. Sebagaimana kemarin sudah bisa, mudah bagiku berdiri menggunakan tongkat ini. Sekarang saatnya latihan berjalan. Mihel tidak mengajariku, karena ia memegang kuat janjinya kepada Ayah. Janji untuk tidak mengajari dan membantuku, hanya menyemangati dan menjaga. Agar aku bisa menemukan cara sendiri, menemukan solusi dari permasalahan yang ada, tanpa bantuan. Ayah mengajarkanku untuk mandiri, sesuai yang dia katakan kepada Bunda.
Lagi-lagi aku berbisik kepada diri sendiri.
“Hei! Ayolah … kita pasti bisa berjalan. Ayo kita berusaha berjalan, seperti kemarin kita berusaha untuk berdiri. Tidak apa-apa, aku tidak akan marah jika terjatuh. Mari kita mulai!”
Langkah pertama belum juga berhasil, sulit sekali rasanya menjaga keseimbangan. Lagi-lagi terjungkal. Mihel malah tertawa melihatku jatuh terguling-guling. Tidak mengapa, justru aku pun ikut tertawa. Ya, menertawakan diri sendiri. Ternyata aku bisa membawa kebahagiaan juga ya untuk orang lain, bahkan diriku pun ikut bahagia. Aku membahagiakan diri, sekaligus orang lain. Aku senang.
Azan zuhur berkumandang.
“Mihel, sudah zuhur, kita pulang, yuk!”
“Kenapa harus pulang? Kan bisa salat di sini.”
“Salat di sini? Ini kan pantai?”
“Lhoo … memangnya kita nggak boleh salat di pantai ya? Haha … bumi Allah itu luas, Hilva, bukan cuma di masjid, kita bisa salat di mana pun asalkan tempatnya tidak najis.”
“Oooh … begitu ….”
Ya, Mihel benar, bumi Allah itu luas, dan, kami perempuan tidak wajib salat berjamaah di masjid. Boleh saja salat di pantai ini. Air di laut pun suci dan menyucikan, bisa untuk berwudhu. Aku menyadari satu hal, ini pembuktian bahwa islam itu memudahkan umatnya. Pakaian kami, sudah longgar dan menutup aurat, jadi tidak perlu lagi menggunakan mukena. Sedari kecil Bunda selalu mengingatkan bahwa menutup aurat itu wajib, dosa besar bila tidak dilakukan. Aurat kita, hanya boleh dilihat oleh mahrom kita saja. Bahkan ada beberapa bagian tubuh yang tidak boleh dilihat oleh mahrom kita, hanya boleh dilihat oleh diri sendiri. Betapa islam sangat menjaga kehormatan perempuan, kata Bunda.
Selesai salat, perutku meronta-ronta ingin diasupi makanan. Bunda tidak menyiapkan bekal untukku. Oh iya, apakah Bunda tidak marah karena aku belum juga pulang? Sudah lama kami di sini, aku takut Bunda marah.
“Mihel, kita pulang yuk, Bunda nanti marah,”
“Tenang, Hilva, aku udah bilang ke bundamu kalau kita akan pulang sore hari.”
“Sore? Tapi … aku lapar … aku nggak bawa makanan …”
“Lapar ya? Hmm … mari ikut aku!”
Ikut? Mau ke mana ini aduuuh … Mihel … aku sebal! Artinya aku harus merangkak karena belum bisa berjalan menggunakan tongkat. Betapa malunya aku … pasti semua orang menatapku, huh. Aku cemberut kepada Mihel, dia tidak peduli.