Hari ini adalah hari yang paling mendebarkan bagiku. Tentu saja aku takut. Bagaimana jika aku dijauhi semua orang di sekolah? Bagaimana jika aku diejek? Pasti seluruhnya menatapku dengan tatapan heran yang tajam. Bagaimana perasaanku nanti? Tapi jika aku tidak sekolah, aku tidak mau bodoh, dan Bunda pasti marah. Sudahlah, bagaimana nanti saja. Bunda menghampiriku, memasangkan jilbab sembari memuji penampilanku. “Cantinya anak Bunda ….” Aku hanya bisa tersenyum seindah mungkin. Ya, aku belum bisa berjalan menggunakan tongkat hingga saat ini. Berarti aku harus meragkak di sekolah. Ooh Tuhaaan … tolong ….
“Yuk kita berangkat, Nak!” Ayah mendudukkanku di atas motor, aku pasrah.
Sampai di sekolah, Ayah menggendongku hingga kelas. Tentu saja semua orang yang kami lewati menatap ke arahku. Aku benci! Sampai di kelas, aku didudukkan oleh Ayah di kursi paling depan di pojok kiri. Katanya, supaya lebih paham pelajaran yang dijelaskan guru. Lagi-lagi aku pasrah. Setelah itu Ayah pergi karena harus bekerja. Aku dikelilingi oleh orang asing. Aku muak!
“Hei, kenalan yuk! Aku Adnan Firdaus.” Ada seorang anak lelaki mengulurkan tangannya kepadaku.
“Aku Hilva.” Aku meraih uluran tangannya sembari berusaha tersenyum.
“Hilva, kaki kiri kamu mana?” Dia hanya penasaran, tapi penasarannya itu membuat seluruh siswa yang ada di kelas mengerubungiku. Aku semakin muak! Aku tidak menjawab, hanya cuek dan memasang wajah murung.
“Eeh … Hilva? Gak suka ya? Maaf ya, aku cuma penasaran …” nampaknya dia merasa bersalah.
“Kakinya copot ya?” celetuk anak perempuan di samping Adnan. Ucapannya membuat seisi kelas tertawa kecuali Adnan, dia langsung mendorong perempuan itu.
Sungguh perasaan muakku tidak tertahan lagi, aku berteriak dan menangis. Semua anak terkejut dan takut, mereka serempak duduk di bangkunya masing-masing, seakan tidak terjadi apa-apa. Adnan langsung duduk di sampingku, namun dia hanya diam. Diam karena dia tidak tahu harus berbuat apa. Aku tahu, Adnan orang baik, sangat baik.
Ibu Guru datang, aku langsung mengusap air mataku. Aku malu jika ketahuan menangis. Adnan memilih untuk tetap duduk di sampingku. Ibu Guru memulai dengan memperkenalkan diri, ternyata namanya adalah Ibu Lisnawati. Ibu Lisna kemudian menyuruh seluruh siswa untuk maju dan memperkenalkan diri mereka satu persatu. Karena aku duduk di bangku paling depan dan pojok sebelah kiri, aku dipanggil pertama. Aku kaget dan panik karena harus merangkak ke depan kelas. Itu berarti semua orang di dalam kelas tahu kalau aku merangkak. Betapa malunya aku! Tetapi Ibu Lisna terus saja memanggilku. Ya, akhirnya aku merangkak. Semua siswa (kecuali Adnan) terlihat menahan tawanya. Huh aku benar-benar benci sekolah!