Di bawah naungan pohon yang rindang, keluarga kecil kami amat berbahagia. Ayah terlihat menggendong tas ransel besar. Bunda membiarkanku yang sudah berusia tujuh tahun ‘merangkak’ ke sana kemari di depan mereka. Ayah menggapai pundak Bunda, berbisik: “Kita harus mendidik Hilva agar mandiri.”
“Hilva, ayo ke sini dulu” aku merangkak mendekat. Ayah mengambil tas, lalu mengeluarkan sebuah kotak persegi panjang yang terbungkus rapi oleh kertas kado berwarna pink.
“Sini, Nak. Ayah bawa kado”
“Waah … buka Yah, Buka ….”raut wajahku bahagia tak terkira. Kertas kado lalu disobeknya. Kotak itu berisi ….
“TONGKAT AJAIIB!!!” Aku berteriak senang.
“Ayah, Bunda, kalau aku pakai tongkat ini, nanti aku bisa jalan seperti Ayah dan Bunda ya?”
Ayah dan Bunda saling berpandangan.
“Iya kan, Bun?” Aku masih menunggu jawaban.
“Kita coba dulu, yuk” kali ini Bunda yang menjawab.
Tanpa peduli angin kencang berhembus, kami amat berbahagia. Aku tertatih-tatih mulai mencoba menggunakan tongkat kecil baru. Seringkali terjatuh, meringis, bangun lagi, terjatuh lagi. Berkali-kali seperti itu. Tanpa menangis, tanpa menyerah. Hingga matahari sebentar lagi tenggelam, kami baru akan beranjak meninggalkan tempat semula. Beranjak pulang. Aku murung, belum puas dengan ‘latihan menggunakan tongkat’nya.