Hobiku adalah berjalan-jalan. Ya, walaupun kalian tahu aku tidak bisa berjalan. Tentu tidak, karena aku membonceng Bunda. Angin yang berhembus kencang membuat suasana naik motor bersama Bunda paling disukai. Kemana pun perginya, aku pasti ikut. Membeli telur di warung Bu Saodah, membeli bahan-bahan membuat kue di pasar, membayar listrik di kantor pos, mengunjungi rumah kawannya, ke pasar malam, bahkan ke tempat pelelangan ikan yang sangat bau amis pun aku ikut. Seperti ekor, tidak bisa terpisah dari badannya.
Bunda mengajakku ke pasar membeli daging untuk lauk makan. Tentu saja aku girang. Tubuhku diangkat Bunda, didudukkan di jok motor bebek tua berwarna merah. Motor kesayangan Bunda. Sudah bertahun-tahun setia menemani kami ketika bepergian. Motor yang penurut, hanya pernah mogok sekali saja. Ketika itu kami sedang dalam perjalanan untuk membeli lauk pauk. Tiba-tiba saja si bebek merah itu mengeluarkan bau yang sangat menyengat. Seperti mesin terbakar. Tetapi hanya aku saja yang mencium. Bunda tidak peduli, lebih tepatnya tidak mengetahui. Beberapa menit kemudian, keluar asap dari bagian belakang. Lagi-lagi hanya aku yang mengetahui. Aku takut setengah mati. Jadi, aku berteriak. Bunda panik, aku memberitahunya. Kami menepi, bunda menggendongku dan memeriksa bebek tua itu. Benar saja, ketika jok dibuka, asap membumbung tinggi. Bau bensin sangat menyengat. Kami memutuskan mengendarainya lagi hingga sampai ke bengkel. Dan ketika Bunda mengajak si bebek, sayangnya ia tidak mau jalan lagi. Mesinnya tidak mau menyala. Huuh … terpaksa Bunda mendorong si bebek sembari menggendongku hingga ke bengkel. Jaraknya lima kilometer. Bayangkan, lima kilo!
Aku melamun mengingat kejadian itu. Dari bengkel, kami naik ojek sedangkan motornya ditinggal di sana. Kami akhirnya hanya membeli telur mentah di warung Bu Saodah dekat rumah. Sampai rumah, Ayah langsung menghampiri. Beliau marah-marah karena sudah lapar. Cerita Bunda tentang motor mogok tak dihiraukan. Mereka bertengkar gara-gara si bebek tua itu tidak mau diajak jalan.
Aku tersadar dari lamunan ketika Bunda menarik tanganku dan menggendong. Kami sudah sampai pasar. Bunda berjalan menuju langganannya. Iih … bau daging, banyak lalat, menjijikan. Eh cantik sekali dia. Ada seekor kucing betina bulunya putih bersih dan ada corak kuning. Ia menggosok-gosokkan tubuhnya di kaki Bunda.
“Bunda, cantik sekali dia,”
“Cantik? Siapa yang cantik?”
“Itu Bun, di kaki Bunda”
“Haah? Kaki? Kaki Bunda cantik?”
“Bukan Bun, itu loh kucing. Kita bawa pulang ya, Bun?”
“Ih, kamu mah ada-ada saja”
Kami beranjak pulang. Ketika sampai di tempat parkir, Bunda tersandung. Ternyata Bunda tersandung kucing tadi. Ia mengikuti kami! Mulai saat itu, tempat tinggal si Cantik adalah di teras depan rumahku. Ia paling suka tidur di dalam kardus. Sekecil apa pun kardusnya, ia berusaha untuk bisa tidur di dalamnya. Bahkan bila tubuhnya harus melingkar seperti bola pun Cantik tak keberatan. Cantik menjadi teman bermainku di rumah. Ya, karena aku tidak memiliki satu pun teman rumah. Biasanya hanya bersama orangtuaku saja.
Seperti corak bulunya yang cantik menawan, ia kuberi nama si Cantik. Putih seperti salju, tetapi ada sedikit corak orange dan hitam. Cantik begitu manja. Dia geliat-geliatkan tubuhnya pada kaki setiap orang yang berada dekat dengannya. Aku suka sekali dengannya. Bulunya sangat halus ketika bersentuhan dengan kulit manusia. Cantik tidak diperbolehkan masuk rumah oleh Bunda. jadi dia tidur di teras. Ketika aku membuka pintu, cantik langsung berlali kencang menghampiri, menggeliat manja, dan mengeluarkan suara paling lembut. Ketika aku sedang makan, cantik mengetahui. Ia duduk rapi di depan jendela sembari terus menatapku. Matanya dikedip-kedipkan tanda berharap. Waah lucunya ….
***