Tahun 2004 menjadi tahun terakhir bagi Ibu untuk mengarungi hidup. Beliau meninggal dunia dalam kondisi yang sangat renta dan pikun. Selama lima tahun terakhir hidupnya, Ibu menjalani hari-hari dalam keadaan pikun, tak lagi mengingat masa kini, hanya terjebak dalam ingatan masa lalunya.
Ibu diberkahi umur yang panjang, hampir mencapai satu abad. Berbeda dengan Ayah, suaminya, yang meninggal muda di usia sekitar tiga puluhan tahun, Ibu menyaksikan banyak perubahan sepanjang hidupnya. Namun, kondisinya yang semakin lemah, serta ketidakmampuannya berjalan, membuat ruang geraknya terbatas hanya di atas ranjang.
Sejak Ibu mengalami fase pikun, ingatannya sepenuhnya kembali ke masa-masa yang terjadi puluhan tahun lalu. Masa-masa yang begitu kelam dan penuh penderitaan. Kenangan menyakitkan dari masa lalunya seolah-olah menelan habis setiap momen bahagia yang pernah ia jalani bersama anak-anak dan cucu-cucunya.
Kenangan buruk itu menghantui hari-harinya, dan tentu saja, itu sangat mempengaruhi kesehatan Ibu. Ia sering terjaga sepanjang malam, tidak bisa tidur nyenyak, terperangkap dalam rasa takut yang begitu mendalam. Rasa takut yang terus-menerus itu juga membuat kami, anak-anak dan cucu-cucunya, kesulitan untuk beristirahat. Kami selalu siaga di sampingnya, karena Ibu kerap kali berteriak dan menangis histeris di tengah malam, seolah sedang dikejar oleh bayang-bayang dari masa lalunya yang gelap.
Teriakan Ibu sering kali membuat cucu-cucunya merasa takut. Bahkan, mereka kadang tidak berani mendekat, karena tingkah laku Ibu yang tidak lagi bisa diprediksi. Trauma masa lalu yang telah lama terkubur kini terungkap kembali melalui perilaku Ibu di hari tuanya. Kami hanya bisa melihat dengan hati yang perih, menyaksikan penderitaannya yang begitu dalam.
Betapa memilukan melihat seorang wanita yang begitu kuat, yang selama bertahun-tahun berjuang demi anak-anaknya, kini terjebak dalam lingkaran kepedihan tanpa akhir. Luka yang ia bawa dari masa lalu terasa begitu nyata di hari-hari terakhir hidupnya. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada apa yang dialami Ibu. Sebagai seorang wanita muda yang harus membesarkan enam anak yang masih kecil-kecil, ia kehilangan suaminya secara tragis akibat kekejaman peran
Kehilangan itu meninggalkan luka yang tidak pernah sepenuhnya sembuh. Dan di penghujung hidupnya, luka itu kembali berdarah, menghantui setiap saatnya. Bagi kami, anak-anak dan cucunya, tidak ada yang lebih menyedihkan daripada melihat Ibu melewati hari-hari terakhirnya dengan begitu banyak
Dalam usia senjanya, hampir tiap malam Ibu selalu berteriak memanggil suaminya, yang tak lain adalah Ayahku!
"Suamiku!"
"Jangan bunuh suamiku!"
Suara Ibu menggelegar memecah keheningan malam, membuat kami terjaga dengan perasaan campur aduk antara cemas dan sedih.
Hampir tiap malam kejadian itu terulang terus, seakan-akan mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Ibu tak pernah benar-benar tidur dengan tenang, begitu pula dengan kami yang selalu waspada setiap kali suara itu kembali menggema.