MELAWAT

Aldi A.
Chapter #3

SATU

Di mataku, aku melihat kata pergi yang tertahan. Tanpa bisa kau lakukan. Barangkali karena kasihan.


“ITULAH kenapa aku pernah bilang kalau punya anak dalam keadaan miskin adalah kejahatan.”

Ali menatap lekat bocah tiga tahun yang sedang bermain tidak jauh dari tempatnya duduk. Sedang di sebelahnya, Sisil turut melakukan hal yang sama. Sore ini, di hari libur bekerja, sepasang kekasih itu mengajak Zaki ke taman yang letaknya tak jauh dari kos Ali. Sudah dua bulan setelah Mala pergi meninggalkan dunia, juga keluarga, suami, pun anak satu-satunya. Namun, permasalahan mengenai siapa yang akan merawat Zaki sepenuhnya belum juga menemui titik terangnya.

Bocah laki-laki itu dioper ke sana kemari. Sehari dua hari bersama Ali, sehari dua hari bersama Rusli dan Seli, selebihnya bersama bapak, pun keluarga dari bapaknya Zaki. Demi kebaikan bersama katanya. Padahal, bagi Ali, hal itu adalah kejahatan yang akan merusak mental Zaki perlahan-lahan. Ali tahu betul bagaimana rasanya dirawat dengan sistem seperti itu. Dulu, saat bapak dan ibunya bertengkar, ia bingung harus ikut dengan siapa. Kadang dengan bapaknya, kadang juga dengan ibunya.

“Itu yang membuat kau belum berani menemui keluargaku? Jika kau pikir memiliki anak dalam kondisi miskin adalah kejahatan, apa kau mengira menikah dalam keadaan miskin pun adalah jembatan seseorang untuk melakukan kejahatan? Begitu?” Sisil bertanya dengan nada yang tegas. Pandangannya kini sudah beralih menatap Ali yang masih lekat memandangi Zaki yang asyik bermain. “Sampai kapan, Li?”

Ali menelan ludah. Sekali dua kali. Pertanyaan Sisil membuatnya kembali merenungi hubungan mereka yang sudah berjalan selama empat tahun lamanya. Bagi Ali, Sisil adalah perempuan yang berhasil mematahkan prinsipnya bahwa ia tidak akan menjalani suatu hubungan dengan seseorang jika hidupnya sendiri masihlah tidak jelas. Baginya, tidak ada pembenaran seorang lelaki mengajak perempuan dalam hubungan yang masih serba kekurangan. Apalagi Sisil adalah perempuan dari keluarga yang terbilang berada. Ia disekolahkan tinggi-tinggi oleh orang tuanya, sedang Ali sendiri hanya sampai tamatan SMA. Kesederhanaan perempuan itulah yang barangkali membuatnya jatuh hati dan mengesampingkan prinsip yang sudah ia pegang baik-baik. Namun, di sore ini, ia menyesali mengapa dirinya tidak tetap saja pada pendiriannya itu. Harusnya ia tidak pernah mencoba merobohkan tembok pendiriannya itu. Ali menghancurkan segalanya, prinsip dan orang yang ia cintai. Ia tidak tahu harus menjawab apa pertanyaan Sisil kali ini.

“Semua sudah diatur oleh Tuhan, Li. Menikah itu ibadah, dan seorang anak adalah rezeki. Tidak baik menganggap dua hal itu sebagai tindakan kejahatan. Kau sama saja menganggap kalau orang miskin tidak boleh jatuh cinta. Karena menurutmu hal itu adalah sebuah kejahatan.”

“Dalam keadaan miskin. Miskin harta, miskin tanggung jawab. Itu yang perlu digaris bawahi, Sil. Aku tidak bilang bahwa kedua hal tersebut murni sebuah kejahatan. Kalau mereka semua sudah cukup dalam finansial dan sudah siap mental menjalin sebuah keluarga, ya, silakan. Kalau belum siap, ya, sebaiknya ditahan dulu. Kau lihat, berapa banyak anak yang jadi korban dari sepasang suami istri yang belum siap dalam hal apa pun. Mereka memaksa atas nama cinta, sampai lupa bahwa hidup bukan hanya perkara jatuh cinta saja. Banyak korban jadinya. Seperti Zaki, sepertiku juga misalnya. Dan seperti kau mungkin. Kalau kita menikah, aku tidak bisa menjamin kau bakalan hidup bahagia terus menerus. Aku takut kau jadi korban dari keegoisanku kelak kalau menikahimu dalam kondisiku yang masih seperti ini.”

“Kita pasti bisa melewati itu semua, Li.” Sisil meyakinkan Ali. Perempuan berambut panjang gelombang itu masih memfokuskan pandangannya sejurusan posisi Ali. Sedang laki-laki berambut cepak itu belum berani menatap Sisil. Ia tak ingin pandangan mereka bertabrakan. Ia tak sanggup melihat wajah Sisil yang sudah tampak sendu. Selama empat tahun, Ali sebisa mungkin tidak membuat air mata Sisil jatuh, apalagi alasannya itu karena dirinya. Ia betul-betul mencintai Sisil. Tidak ada dalam kamusnya untuk menyakiti perempuan itu.

Lihat selengkapnya