MELAWAT

Aldi A.
Chapter #4

DUA

Ia masih membungkus rindu pada kematian dua bulan lalu. Pun menanggung rindu yang semakin bertalu-talu.


“ZAKI jangan nakal, ya. Nanti Om Ali jemput Zaki, kita main sama-sama lagi.”

Air muka Zaki tampak sedih. Ia lesu. Begitupun Ali. Waktu bersama Zaki hanya sehari karena ia hanya libur sekali di minggu ini. Bagi Ali, momen berpamitan dengan Zaki adalah sesuatu yang membuat dadanya dipenuhi rasa sesak. Seperti ada jutaan lebah yang menyengat organ bernama hati. Sakit sekali. Melepaskan bocah lelaki itu bersama Usman—bapak Zaki dan suami Mala—sama halnya mengantar Zaki masuk ke kandang harimau. Ali tahu sendiri bagaimana watak lelaki berambut gondrong itu. Dulu, saat Mala dan Usman masih berpacaran, Ali adalah orang pertama yang tidak setuju dengan hubungan itu. Berkali-kali ia memberi tahu Mala, tetapi berkali-kali juga Mala meyakinkan Ali bahwa Usman adalah laki-laki yang baik. Perlahan-lahan, Ali mencoba menerima kehadiran Usman di keluarganya. Ia belajar memercayai keberadaan Usman sebagai sesuatu hal baik yang akan hadir di tengah-tengah keluarga mereka. Seperti yang dikatakan Mala untuk meyakinkannya. Sayang, keyakinan Ali dipatahkan mentah-mentah. perlahan-lahan segalanya menjadi kacau. Bermula ketika Ali mendapati Mala menangis di pukul 2:00 dini hari dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.

Waktu itu, isak tangis terdengar dari kamar Mala yang kondisinya hanya berdinding gedek dari kamarnya. Ketika Ali mengajukan rentetan pertanyaan, Mala tidak mau menceritakan apa yang terjadi dengan dirinya, alasan apa yang membuat air matanya jatuh hingga ia sampai terisak-isak. Sampai pada akhirnya, satu minggu setelah Ali mendapati Mala kembali dalam keadaan menangis, perempuan itu akhirnya menceritakan semuanya. Ali begitu terpukul. Ia seperti ingin memukul Usman tepat di hari itu juga.

“Dadah, Om,” kata Zaki memecahkan ingatan Ali mengenai Mala. Di umur tiga tahun, Zaki tumbuh menjadi anak yang pintar. Ia sudah bisa berbicara meski beberapa huruf tidak begitu jelas. Jarang sekali rewel, barangkali karena ia sudah terbiasa dioper ke sana kemari. Sesuatu yang membuat Ali terpukul setiap kali membayangkan hal tersebut. Anak itu tumbuh cepat dari yang seharusnya. Ketika ia melihat Zaki, ia seperti melihat replika dirinya.

Ali melambai-lambaikan tangannya. Menatap lekat Zaki yang dituntun Usman menaiki taksi online. Zaki kembali melambai-lambai ke Ali, mata mereka bertabtakan. Mata bulat besar itu percis sekali dengan Mala. Dan dari kedalaman mata Zaki, Ali bisa melihat luka-luka Mala yang dulu kakak perempuannya itu selalu keluhkan padanya.

Hidup hanya sekali. Renungi, lalu jalani. Sebab, menjalani lebih dulu tanpa merenungi adalah jalan buntu.

Begitu kata Mala menasihati Ali ketika di hari pernikahan kakaknya itu berlangsung. Waktu itu, Ali paham maksud perempuan itu. Menjalani hidup dengan mengambil keputusan tanpa memikirkan dan merenungi apa yang akan terjadi ke depannya sama halnya dengan menutup jalan-jalan lain yang seharusnya masih bisa dilalui. Tak ada pilihan lagi ketika jalan yang diambil itu ternyata salah. Dan satu-satunya yang akan terjadi adalah menyesali keputusan tersebut. Itulah mengapa perenungan begitu penting dalam mengambil keputusan. Ali berada di posisi itu sekarang. Ia tidak tahu, keputusan apa yang harus ia ambil mengenai hak asuh Zaki. Ia tidak ingin gegabah. Ia tidak ingin kembali merasa menyesal atas apa yang sudah ia putuskan seperti yang sudah-sudah.

Sisil memegang tangan satu Ali, tangan yang lain masih setia melambai-lambai sampai taksi online yang ditumpangi Zaki dan Usman tidak lagi tampak di kedua manik matanya. Sisil mencoba menenangkan lelaki itu. Ia tahu, setiap kali Zaki berpamitan dan mengharuskan anak itu ikut bersama Usman, rasa kekecewaan terus menghunjam Ali berkali-kali. Sama seperti di sore ini. Ali tampak begitu terpukul.

“Aku bukan adik yang baik.” Begitu kata Ali kemudian.

“Kau sudah melakukan yang terbaik, Li. Kakakmu juga pasti setuju dengan hal itu,” kata Sisil mencoba kembali menenangkan.

Lihat selengkapnya