Kau menangis di ambang jurang, lalu tertawa di atas terumbu karang. Dan di antara jurang dan terumbu karang, ada sesuatu yang tidak bisa kau tahan.
ALI melajukan motor dari arah Makassar menuju Sinjai dengan kecepatan agak tinggi, namun tetap berusaha sehati-hati mungkin. Udara dini hari yang menyelinap dari balik celah jaket, tak lagi dipedulikan. Sedang di belakang Ali, orang yang seharusnya lebih panik darinya, Sisil, malah duduk membonceng dengan tenang. Seakan tidak sedang terjadi apa-apa. Membuat Ali dibuat bingung sendiri. Padahal, satu setengah jam yang lalu, bapak dari kekasihnya itu telah tiada. Serangan jantung, katanya.
“Pelan-pelan saja, Li. Jangan balap-balap.” Sisil menepuk pelan pundak Ali, seakan mengisyaratkan agar lelaki itu sedikit mengundurkan tarikan gas.
Sesuai permintaan Sisil, Ali langsung melambatkan laju kendaraan yang mereka tunggangi. “Kok kau bisa santai begini ya, Sil. Malah aku yang panik sendiri. Yang meninggal itu bapakmu, loh … bapakmu.”
“Semua orang pasti bakal mati, Li. Itu siklus kehidupan yang tidak bisa ditolak. Walau kita memang tidak pernah bisa tahu kapan datangnya, namun kita juga harus siap untuk hilang atau merasa kehilangan. Kalau Bapak meninggal hari ini, itu artinya memang sudah waktunya beliau pulang.”
Sudah sejak lama Ali merasa kalau Sisil memang sedikit berbeda dengan orang-orang yang dikenalnya. Ia adalah perempuan yang selalu legowo atas apa pun yang menimpanya. Selama ini, meski keduanya sering berbeda pendapat, namun justru dari sanalah Ali bisa mengambil banyak pelajaran dari perempuan yang bersahaja tersebut. Seperti saat ini. Ali tahu betul, bahwa kematian adalah hal yang paling menyakitkan. Kematian ibunya, kematian kakak perempuannya. Tidak ada yang bisa menandingi rasa sakit dari ditinggal orang tersayang. Bahkan, Ali sendiri sampai detik ini masih kebingungan dengan apa yang ia jalani. Hidupnya terlunta-lunta mencari makna dari perjalanan yang ia lalui itu.
Mengapa kepergian orang tersayang begitu berpengaruh dalam kehidupannya?
“Masalah itu adalah bagian dari hidup yang tak bisa dipisahkan. Manusia harus sabar dan tawakal, Li. Yang terpenting harus berserah dengan apa yang Tuhan kasih. Karena mensyukuri setiap hal yang diberikan oleh Tuhan adalah sebenar-benarnya ketenangan.”
“Siapa yang mengajarkan semua itu, Sil?”
“Pedoman hidup itu sudah turun-temurun diwariskan dari nenek moyangku. Kami sekeluarga percaya, bahwa menangisi kematian sama halnya menghalangi seseorang berpulang dengan tenang.”
Sungguh, jawaban Sisil berhasil menembus dinding hati Ali. Padahal, dua bulan yang lalu, setelah tahu Mala mati, air matanya tak pernah berhenti mengalir. Ia merutuki kepergian Mala. Teriakan-teriakan demi teriakan terlontar begitu saja, bahkan di tengah rasa sakitnya, Ali sampai menyalahkan Tuhan atas kematian Mala yang begitu cepat. Ia seperti orang gila. Lebih tepatnya digilakan oleh kematian orang-orang yang ia sayangi.
Ali menepi, menghentikan motornya. Badannya setengah berbalik, menatap Sisil. Di mata perempuan di depannya itu, ia seperti bisa melihat setiap permasalahan dari sisi yang berbeda.
“Kau benar-benar tidak apa-apa, Sayang?” Ali bertanya. Sebutan kata sayang terucap dengan lembut. Keduanya memang jarang menggunakan kata itu. Hanya di momen-momen tertentu saja. Karena bagi mereka, tidak peduli berapa banyak sebutan manis terucap, karena apa yang dirasa di hatilah yang utama.