Pada pecahan kaca yang menyentuh lantai-lantai pualam, ada air matamu yang turut jatuh berserakan. Dalam hening, dalam dekapan kesepian.
PERTAMA kali Mala merasa dunianya hancur ketika bapaknya berpulang setelah bertahun-tahun menanggung penyakit yang diderita. Setelah bapak kandungnya itu meninggal, ia hidup bertiga dengan Romlah—ibunya—dan Rusli. Bertahun-tahun mereka bertahan dari hasil menjual gorengan di sekitar rumah. Atau membantu para tetangga di kampung, apa pun yang mereka bisa kerjakan. Satu keluarga itu hidup dengan makan seadanya. Kadang garam yang dilaruti air putih, kadang roti sebiji yang dibagi tiga, kadang sisa gorengan yang tak laku, kadang pula malah tak makan seharian. Mereka mengenyangkan diri (atau memaksakan perutnya terasa kenyang) dengan meminum bergelas-gelas air putih.
Banyak orang bilang bahwa hidup di kampung memang tampak sederhana, tetapi hidupnya jauh lebih tenang dari orang-orang yang berada di kota. Namun, itu tidak sepenuhnya benar. Beberapa dari mereka yang tinggal di kampung memanglah serba kekurangan. Seperti apa yang terjadi pada kehidupan Romlah dan keluarganya.
Satu keluarga yang baru ditinggal mati kepala keluarganya itu benar-benar terpuruk. Romlah berusaha sebisa mungkin untuk tetap menghidupi anak-anaknya. Tidak peduli bagaimana pekerjaan yang ia geluti memakan habis sisa-sisa tenaga di tubuhnya. Bagi perempuan itu, anak-anaknya adalah prioritas utama yang tidak mungkin ia hindari. Meski dengan rasa jengkel kepada Tuhan yang kadang bercokol di kepalanya lantaran memberinya hidup di lingkaran kemiskinan, tetapi setiap kali ia keluhkan hidupnya itu, Romlah mencoba beristgfar berkali-kali. Sebagai obat penenang dari rasa muak yang selalu bertandang ketika lelah menyerang tubuhnya. Emosi Romlah menjadi tidak stabil setelah kematian suaminya. Terlebih ketika anak-anak perempuan itu sudah terlelap dan ia masih terjaga dalam lamunan.
Melihat apa yang dialami oleh ibunya, membuat hati Mala teriris-iris. Namun, hal itu tak membuat Mala mengeluhkan hidupnya. Bagi perempuan berambut pendek sebahu itu, kehadiran Romlah yang begitu semangat merawat dirinya dan Rusli seorang diri adalah satu anugerah yang perlu ia syukuri dari rentetan luka-luka yang ia dapat. Sampai beberapa bulan setelah bapaknya tiada, ibunya itu bertemu dengan lelaki yang berjanji merawat dan membesarkan Mala dan Rusli.