Kau hidup dalam ketakutan-ketakutan yang mematikan. Kau juga ditelanjangi resah dan perasaan bersalah. Pun dibayang-bayangi sumpah serapah, tersebab tak ingin dikatai sampah.
ALI lupa kapan terakhir ia duduk berdua dengan Rusli. Berbicara, berdialog, saling sapa, atau apa pun itu seperti layaknya keluarga. Jarang sekali keduanya melakukan itu. Yang mereka ingat, kali terakhir mereka duduk bersama—itu pun di antara keluarga yang lain—adalah saat malam takziah ketiga kematian Mala.
Waktu itu, mereka duduk berdampingan dengan isi kepala yang sudah berada di ambang kegilaan. Bergelayut lagi menari-nari. Mereka dipecundangi keadaan yang membuat segalanya berantakan. Bahkan di tengah kewarasan yang hampir habis itu, keduanya sempat melibatkan otot setelah puas mengata-ngatai dengan sebutan segala penghuni kebun binatang. Kalau tidak ada Bachtiar, kedua saudara itu mungkin saling menyakiti satu sama lain.
Dua bulan berlalu, kedua saudara itu kini bertemu seperti pesan masuk yang diterima Ali malam lalu. Pesan yang dikirim Rusli pada malam itu di saat ia dirundung kecemasan. Ia hidup di tengah sesuatu yang dengan rapat ia sembunyikan. Sesuatu hal yang ia harap tak pernah jadi konsumsi publik. Ia lupa, bangkai yang dikubur saja bisa tercium sewaktu-waktu. Ini hanya soal masalah waktu kapan semuanya akan terkuak. Dan Rusli menyadari betul, di malam takziah ketiga kematian Mala, apa yang ia sembunyikan selama ini diketahui seseorang selain Mala.
“Apa Mala pernah cerita sesuatu padamu?”
Pandangan Ali yang semula ke sembarang arah, kini spontan menatap lekat Rusli. Mala banyak bercerita kepadanya. Apa pun. Tentang apa yang ia alami, tentang suaminya yang bajingan, tentang anaknya yang selalu rewel meminta susu, atau tentang keluarganya yang tak sudi lagi menerimanya. Banyak hal yang Ali dengar dari Mala. Perempuan itu percaya untuk menceritakan apa saja yang mengganjal di hatinya. Mala memuntahkan segala yang ia pendam itu kepada Ali, sebab tak ada lagi yang sudi mendengarnya selain adik bungsunya itu.
“Cerita sesuatu seperti apa?” Ali menjawab dengan melempar kembali pertanyaan. Ia memalingkan pandangannya. Diperhatikannya lagi lekat-lekat rumah KPR yang dicicil Rusli. Sederhana, tapi sudah lebih dari cukup untuk Rusli tinggali seorang diri.
Dibanding saudara-saudaranya yang lain, Rusli bisa dibilang paling berhasil. Ia melesat lebih jauh. Berbekal ijazah SMA hasil pengorbanan Mala yang berhenti sekolah, lelaki tinggi dengan mata elang itu giat bekerja hingga sampai berada di posisi Asisten Brand Manager di salah satu toko baju terkenal di Makassar. Ali percaya betul dengan keuletan Rusli dalam bekerja. Di awal-awal Rusli mendapatkan pekerjaan, ia bahkan rela menghabiskan waktunya lebih lama di tempatnya bekerja ketimbang berada di rumah. Posisinya yang ia dapat saat ini pun karena cara kerjanya yang memang disenangi atasannya. Setidaknya begitu yang diketahui oleh keluarganya tentang keberhasilan Rusli selepas lulus SMA.
Besar harapan Ali agar Rusli bisa membantu keluarganya, tapi ternyata tidak ada yang bisa diharapkan dari kesuksesan kakak tertuanya itu. Ia lupa diri. Hanya memberi Bachtiar dan adik-adiknya uang yang tak seberapa. Itupun hanya bisa dihitung jari. Jarang sekali Rusli mengeluarkan uang untuk keluarganya. Bahkan menurut Ali yang sudah bekerja sebagai bartender di salah satu rumah karaoke keluarga, yang gajinya jauh di bawah Rusli, ia lebih banyak menghabiskan gajinya itu untuk keluarga. Bagi Ali, ia bekerja untuk mereka. Ia besar dan tumbuh karena keluarga, tidak mungkin ia melupakan orang-orang yang berada di belakangnya selama ini begitu saja.