MELAWAT

Aldi A.
Chapter #8

LIMA

Apa yang lebih sakit dari gelas kaca yang jatuh berserakan menyentuh lantai-lantai pualam? Adalah melihat Ibu menangis di tengah malam.



RUSLI berjalan tergopoh-gopoh ke dalam kamarnya. Sekonyong-konyong ia limbung tak berdaya. Tangisnya terus-terusan pecah. Ia dihantui bayang-bayang ketakutan. Setelah Ali pergi meninggalkan dirinya sendirian di rumah, Rusli benar-benar merasa frustrasi. Ia teguk lima botol bir sampai tandas tak tersisa. Ia pikir dengan tubuhnya yang sudah bermandikan alkohol, bisa membuat ingatannya tidak lagi tertuju barang sejenak pada sesuatu hal yang menjadi alasan ketakutannya itu bermunculan. Tetapi ternyata ia salah. Ingatan itu masih terus menghantamnya tanpa henti. Rusli tidak tahu mengapa ia bisa melakukan hal tersebut. Berkali-kali ia merutuki dirinya, berkali-kali juga lelaki berbadan tinggi itu menyesali apa sudah ia jalani selama ini. Dulu ia pernah melaknat Mala habis-habisan, menyebut adik perempuannya itu telah mempermalukan keluarga mereka, tapi apa yang ia sudah perbuat ternyata sudah di luar kendalinya. Ia tidak lebih baik dari Mala.

Rusli pikir, uang bisa mengantarkannya pada kebahagiaan. Ia keliru, bahagia tidak semudah itu. Ia dihantui ketakutan-ketakutan yang tidak tahu bagaimana cara menghentikannya. 

“SETAN!”

Rusli berteriak histeris. Asbak kaca yang ada di dekatnya diambil lalu dilemparnya begitu saja hingga pecah berserakan. Ia tidak tahu hidup seperti apa yang dijalaninya. Setelah Mala meninggal, harusnya tidak ada lagi yang perlu ia takuti. Apa yang disembunyikannya selama ini tak akan mungkin lagi terkuak. Rusli hanya perlu melanjutkan hidup dengan damai tanpa memikirkan perkara rahasia yang ditutupinya rapi-rapi. Namun, dua bulan setelah Mala meninggal, hidupnya semakin tidak tenang. Rahasia itu perlahan-lahan terbuka, menyesap di otaknya, lalu menjadi ketakutan yang pelan-pelan seperti ingin membunuhnya. Kalau tidak ada perdebatan di malam takziah ketiga kematian Mala, mungkin saja hidupnya tidak akan sekusut ini.

Sebuah panggilan telepon yang terus berdering, teriakan yang sangat keras, tangisan yang membabi buta, bunyi ban yang berdecit ....

Rusli geleng-geleng kepala. Lelaki yang mata elangnnya sudah memerah itu tak mau mengingat apa pun tentang kejadian di masa lalu. Tapi berkali-kali ia mencoba melupakan, ia selalu gagal membuang kenangan. Lelaki itu seumpama terperangkap dalam ruangan yang pengap, dipenuhi kenangan yang berserakan, dan dengan bodohnya seperti memunguti ingatan-ingatan yang tercecer itu. Rusli dihantam masa lalu di malam yang sudah semakin muram. Kelam.

Lihat selengkapnya