Ada yang hilang dan baru kau sadari setelah tak ada yang pulang. Ada yang mati dan baru kau sadari setelah ada yang pergi.
BACHTIAR duduk termenung di balai-balai depan rumahnya. Sepi betul kehidupannya. Ia kini seperti hidup sebatang kara. Setelah Romlah meninggal, ia terlunta-lunta mencari jalan. Seli tinggal bersama suaminya setelah menikah, Ali memilih meninggalkan rumah dan menempati kos di dekat tempatnya bekerja, sedang Rusli tinggal di perumahannya—meski sebenarya lelaki itu sudah sangat lama meninggalkan rumah lantaran tidak begitu dekat dengan sosok bapak sambungnya itu. Bachtiar merutuki mengapa dulu ia dan Romlah tidak bisa mempertahankan keharmonisan keluarganya itu.
Hidup Bachtiar hanya bergantung pada Ali. Setiap minggu sekali, anak bungsunya itu selalu berkunjung, mendatangi dan melihat kondisinya. Membawa makanan sekali-kali, juga memberi beberapa lembar uang untuk disimpan dan membeli rokok keretek andalannya. Isi kulkas satu pintu yang ada di rumah akan diisi Ali dengan penuh. Sedang kopi dan gula sudah disediakan Ali setiap ia datang ke rumah yang dipenuhi dengan kenangan itu.
Bachtiar tidak lagi bekerja. Tidak ada pula yang bisa ia lakukan. Tubuhnya sewaktu-waktu merasa sakit, barangkali karena usianya sudah tidak lagi muda. Maka hidupla ia di rumah seorang diri. Ia habiskan masa-masa senjanya dalam kesepian. Anak-anak yang dulu memeriahkan rumah, kini sudah jarang sekali terdengar. Kosong sudah hatinya, pun hidupnya seperti bangunan tak berpenghuni yang dipenuhi sarang laba-laba.
Seperti malam-malam sebelumnya, selepas bakda Magrib, Bachtiar merenungi sesuatu yang menelisik hatinya belakangan ini. Sesuatu yang dulu ia sempat dengar dari khotbah masjid dekat rumahnya.
Katanya, selepas kematian, orang-orang yang menangisi kepergian kerabat akan tetap hidup berjalan dengan semestinya. Teman-teman akan masih bisa tertawa, rekan kerja akan tetap kembali pada aktivitasnya, dan keluarga pelan-pelan akan melupakan kesedihannya meski butuh waktu yang cukup lama. Dan orang yang sudah mati akan tetap melanjutkan hidup yang sebenarnya seorang diri. Di dalam kuburan yang sempit, gelap, dan sepi. Kalimat itulah yang membuatnya tidak tenang sampai detik ini.
Bachtiar takut jika nanti ia berpulang, ia akan menghadapi kehidupan sebenarnya setelah kematian itu benar-benar seorang diri. Di sisa-sisa umurnya saja yang sekarang, merasakan kesepian adalah sesuatu yang paling tidak mengenakkan. Ia benci hidupnya yang berteman sepi. Lelaki itu rindu akan hangatnya keluarga. Besar harapan Bachtiar agar anak-anaknya itu kembali, menetap di rumah, dan menemani ia di masa-masa tuanya itu. Namun, Bachtiar kini tak lagi berani menuntut. Ia turunkan egonya. Ia matikan kemauannya. Ia tidak seperti dulu lagi yang selalu dibakar amarah yang menggantung di kepalanya. Terakhir kali ia melakukan itu ketika tiga hari setelah Mala meninggal.
Keluarga yang begitu harmonis itu perlahan-lahan menjadi asing sejak kematian Romlah. Ketika penyambung antara dirinya dengan Rusli dan Mala meninggal, ia benar-benar kehilangan satu persatu kebahagiaannya. Bachtiar kini hidup berteman sepi di rumah di mana ari-ari Seli dan Ali ditanam.
“Bapak kenapa duduk di luar? Ayo masuk, banyak nyamuk di sini, Pak.”
Suara Ali membuyarkan apa yang dipikirkan Bachtiar malam ini. Senyum merekah spontan terlukis, membuat kedua ujung sudut bibirnya melengkung ke atas. Diperhatikan lagi anak bungsunya itu yang tampak kelelahan. Bachtiar langsung bisa menebak kalau Ali baru saja pulang bekerja karena pakaian yang dikenakannya malam ini.