Cinta itu terpatri di tengah perasaan yang ditanggungnya seorang diri. Tidak direstui, tidak ada pula yang menemani. Ia berkawan sepi sampai ia mati.
MALA menggedor-gedor pintu kos Usman. Sudah dua hari Usman tidak mengangkat teleponnya. Deretan pesan yang dikirimnya pun tidak pernah dibalas, pesan-pesan itu hanya berakhir pada centang biru saja. Usman melarikan diri, sebut saja seperti itu.
“Usman, tolong buka pintunya. Aku tahu kau ada di dalam. Kita harus bicara. Jangan membuat aku mengemis seperti ini. Aku mohon ....”
Dua hari lalu, setelah ada yang aneh dengan dirinya, Mala memberanikan diri mengecek apa yang ia khawatirkannya itu langsung menggunakan testpack. Dua garis terpampang nyata. Mala hamil di saat ia dan Usman belum juga menikah. Paniklah ia. Perempuan itu langsung menghubungi kekasihnya.
Ketika Usman mengangkat panggilan telepon dan langsung disodorkan dengan pengakuan Mala yang tengah mengandung anaknya, ia langsung mematikan sambungan telepon itu tanpa mengatakan sepatah kata. Menenangkan Mala saja tidak ada. Lelaki itu tiba-tiba hilang bak ditelan bumi. Entah sudah berapa banyak telepon dan pesan-pesan yang dikirim Mala ke Usman, tetapi lelaki itu lari dari tanggung jawab. Maka berakhirlah Mala di sini—di kos Usman—karena lelaki itu sama sekali tidak masuk kerja setelah info kehamilan Mala. Perempuan itu dirundung ketakutan yang sangat besar.
“Tolong jangan menghindar begini. Jangan mendiamiku. Aku takut, Usman. Takut sekali!”
Mala benar-benar menyesal. Jatuh cintanya salah. Ia terlalu dibutai akan cinta. Perempuan itu pikir, kehadiran Usman seperti pengganti figur mendiang bapak kandungnya. Tapi ternyata ia salah. Usman pengecut. Lelaki itu mencoba lari dari tanggung jawab. Menyandingkan Usman dengan bapaknya adalah kesalahan besar. Mereka berdua ibarat dua sisi uang koin. Mereka jelas berbeda!
Mala bertemu dengan Usman di tempat mereka bekerja. Mala ingat saat pertama kali ia disapa oleh Usman, ia masih biasa-biasa saja. Tidak ada yang menarik dari lelaki berambut gondrong itu selain postur tubuhnya yang kekar dan tinggi. Hingga pertemuannya di tempat kerja yang hampir setiap hari membuat kehadiran Usman menjadi warna baru di hidupnya. Ia pada akhirnya jatuh hati dan membagi hati. Lalu kini ia menyesali apa yang sudah ia lakukan bersama Usman. Dosa besar dirinya. Ia sudah tentu akan membuat keluarganya dirundung kekecewaan yang sangat dalam kalau mereka tahu apa yang terjadi dengan dirinya saat ini.
“Buka, Usman! Buka! Jangan diam saja. Kau pikir aku tidak takut? Kau pikir aku tidak akan terus-terusan mencarimu? Kau pikir aku akan ikhlas dan diam saja sampai perutku ini—“