Ada yang tidak bisa kau cerita pada orang-orang. Tentang cahaya terang yang perlahan-lahan padam. Katanya, cintamu adalah dosa yang menjauhakan dirimu dari Tuhan. Tersebab rasa yang kau miliki adalah kesalahan.
ALI dan Rafi duduk di tepi Pantai Losari pada pukul 3:00 dini hari. Keduanya duduk di sebuah batu panjang yang membentang sepanjang pantai sebagai palang. Sepulang bekerja, mereka memutuskan singgah sejenak seperti yang sudah-sudah. Sekadar bercerita dari pengapnya hidup yang mereka jalani. Ali tentang keluarga dan hubungannya bersama Sisil dan keluarganya, sedang Rafi mengenai adik dan pelariannya dari bapak tirinya. Bagi mereka, bercerita adalah salah satu cara agar tetap waras. Tidak semuanya memang, beberapa cerita hanya tersimpan rapi di otak mereka masing-masing, lalu hanya bisa dipendam karena sadar cerita itu barangkali tidak untuk dibagikan kepada siapa pun.
Rafi menatap ke sembarang arah, sebelum matanya menangkap air pantai yang tenang. Udara dini hari begitu menenangkan, membuat dirinya melupakan sejenak masalah hidup yang ia hadapi.
Sebelum hidup berdua dengan adiknya, Rafi tinggal di kampung bersama Paiman, sang bapak tiri. Setelah ibunya yang ia sayangi meninggal, ia sadar bahwa neraka sedang berada di depan matanya. Sang bapak tiri memaksanya terus-terusan bekerja. Uang yang didapat Rafi dari membantu para tetangga di sawah dan kebun harus disetorkan kepada bapak tirinya itu. Ironinya, uang itu digunakan Paiman untuk mabuk-mabukan bersama teman-temannya. Setiap kali Paiman pulang, aroma bau alkohol menyengat di tubuhnya. Ketika Rafi mencoba menyadarkan baik-baik bapak tirinya itu, Paiman tidak terima dan memukul Rafi berkali-kali. Hal itulah yang membuat Rafi tidak tahan lagi tinggal bersama dengan Paiman. Ia memutuskan meninggalkan rumah dan membawa adik perempuannya untuk tinggal bersamanya.
Rafi sama sekali tidak percaya dengan Paiman. Adiknya itu bisa saja disakiti ketika ditinggal seorang diri di rumah yang mereka tempati. Dengan alasan itulah ia memilih membawa adiknya pergi meninggalkan Paiman dan kampung di mana ia dibesarkan.
Rafi menarik napasnya dalam-dalam. Pandangannya kini beralih pada sahabatnya yang duduk tenang di sampingnya. Rafi tahu, ia dan Ali tidak jauh berbeda. Mereka memiliki hubungan keluarga yang kusut. Tidak harmonis, tidak pula cemara.
“Kau baik-baik saja, Li?” Rafi bertanya dengan nada halusnya serupa perempuan, embusan angin menerbangkan beberapa helai rambutnya.
“Tidak begitu baik, Raf. Ada yang—“
“Vi-vi. Apa susahnya memanggilku Vivi sih, Li?”
“Kau mau kuhajar, ya?” Kepalan tangan kiri Ali melayang di depan wajah Rafi, membuat mata teman kerjanya itu membesar. Kaget. “Satu kali kau menyebut dirimu seperti itu di depanku, akan kupastikan wajahmu bakalan babak belur!”
Rafi menangkap kepalan tangan Ali, menurunkannya pelan-pelan agar tidak lagi ada di depan wajahnya. “Maaf, Li. Kelepasan.”
Rafi tahu, Ali tidak mungkin melakukan itu. Delapan bulan berkenalan dengan Ali, ia tak pernah melihat sekali pun temannya itu memukul orang. Pembawaan Ali pun selalu tampak tenang, meski di beberapa situasi, Ali selalu menunjukkan emosi yang ditahannya dengan baik.