Semua orang bisa pergi, asal jangan Ibu. Semua orang bisa mati, asal jangan Ibu. Semua orang bisa lenyap, asal Ibu jangan ....
HIDUP Ali bagaikan warna abu-abu, berada di tengah-tengah antara titik bahagia dan sedih. Mengambang. Ia bahkan merasa hambar dengan hidup yang ia jalani. Seperti pagi ini, di dalam kosnya yang tidak begitu luas, ia bangun-bangun dari tempat tidur dengan perasaan kacau. Sesak memenuhi dadanya. Air mata lelaki berambut sedikit ikal itu jatuh begitu saja. Mengalir di tengah tidurnya yang gelisah. Tersebab ia bertemu dengan Mala di mimpinya.
Perempuan berambut pendek sebahu itu berada di ruangan gelap, ia sedang duduk di bangku kayu. Di sekelilingnya benar-benar diselimuti hitam pekat. Cahaya hanya tampak mengelilingi tubuhnya, yang jika diamati dari jauh cahaya itu hanya terlihat seperti titik kecil di antara pekatnya gelap ruangan.
Ali berjalan gontai mendekati Mala. Langkah demi langkah kakinya menapak, samar-samar ia mendengar suara tangisan perempuan yang ia yakini keluar dari mulut Mala. Makin lama makin besar seiring langkah kakinya yang sudah berjarak sedepa dari tempat kakaknya itu duduk.
Ali memanggil nama Mala berulang-ulang, berteriak-teriak hingga gemalah seisi ruangan itu, tetapi tak ada jawaban dari perempuan yang masih duduk dengan kepala yang menunduk dan tangis yang kian membesar. Ali memberanikan diri untuk lebih dekat, menyentuh pundak perempuan itu, sebelum akhirnya ia terbangun dengan terakhir kali melihat wajah Mala dipenuhi darah yang hampir menutupi sebagian wajahnya.
“Astagfirullah ....” Ali mencoba menenangkan dirinya. Ia langsung merasa gelisah memikirkan perkara apa yang dialami Mala hingga ia bermimpi demikian. Tapi, ia mencoba untuk tidak berburuk sangka dengan apa yang ada di mimpinya itu. Ali menggeleng-geleng. Harusnya ia tidak ketiduran sehabis salat subuh tadi.
Ali beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi ketika melihat arah jam menunjukkan pukul 6:30 pagi. Sebentar lagi Usman datang membawa Zaki. Tidak seperti dua minggu sebelumnya, kali ini ia bisa mengambil cuti. Jadi, ada dua hari waktu yang ia habiskan bersama keponakannya itu. Tentu saja hal itu membuat Ali bahagia. Menurutnya, tidak ada yang lebih menyenangkan dari melihat senyum Zaki dari dekat. Menidurkan bocah tiga tahun itu sendirian. Baginya, satu dua hari yang ia punya untuk Zaki adalah penebus dosa dari apa yang sudah ia janjikan kepada kakak perempuannya. Janji yang tidak bisa ia tepati lantaran situasinya tidak semudah yang ia pikirkan.
Dulu, ketika Mala masih hidup, setiap jadwal liburnya tiba, Ali selalu mengajak Mala dan Zaki untuk menginap di kosnya. Membawa dua orang yang paling ia sayangi itu ke mana saja. Asalkan mereka bahagia. Ali tidak akan lupa setiap hari Mala selalu menanyakan waktu liburnya. Meminta Ali untuk menjemput dan membawanya pergi sejenak dari Usman.
Dulu, ketika Ali menanyakan kepada kakaknya itu alasan mengapa ia begitu semangat bertemu dengan Ali, Mala hanya menjawab bahwa kerinduan terhadap adik bungsunya selalu menghampiri. Tetapi itu dulu, pas awal-awal pernikahan Mala dan Usman, ketika Ali belum mengetahui banyak hal tentang hubungan sepasang suami istri itu. Barulah Ali sadar mengapa Mala begitu semangat untuk menginap di kosnya ketika ia tidak sengaja mendapati Usman meneriaki Mala tepat di kedua manik matanya. Tubuh Mala gemetar, matanya memerah, ia menahan air matanya jatuh di hadapan Ali.
Perempuan itu merasa dunianya berhenti ketika bersama Usman. Ia mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari sang suami. Ia dikata-katai, tak diberi makan, tak diberi uang, hingga dipukul sewaktu-waktu ketika ia memberanikan diri menagih tanggung jawab kepada Usman: meminta uang bulanan, memikirkan perkara makanan.
Ali sempat membujuk Mala untuk lebih baik berpisah dengan Usman. Namun, jawaban Mala membuat hati Ali terpukul. Katanya, Zaki masih terlalu kecil untuk hidup tanpa bapak. Maka dengan alasan itulah Ali tidak lagi memaksa Mala menceraikan suaminya. Meski Ali selalu bilang bahwa ia bisa menghidupi Zaki sendiri dari hasil jerih payahnya bekerja.
Mala pernah bercerita bahwa ia tidak tahu apa yang ada di kepala Usman. Lelaki itu benar-benar tidak ada semangatnya untuk bekerja. Mereka makan tak makan. Mala pusing setengah mampus. Uang yang dikasih Ali setiap bulan kadang tidak cukup untuk menutupi kebutuhannya. Itulah mengapa Mala tak jarang meminta tolong Ali untuk dipinjamkan uang meski jadwal gajian adiknya itu masihlah lama tiba. Walau Ali tahu uang yang dipinjamkan kakaknya itu tidak akan kembali seperti yang dinjanjikan Mala.
Meski begitu, Ali tetap membantu Mala dengan senang hati. Pun Mala hanya percaya kepada Ali. Sebab meminta di Rusli tak pernah digubris sama sekali. Kakak tertuanya itu benar-benar membiarkan dirinya menjadi asing di hadapan keluarga. Rusli memilih untuk tidak berkomunikasi dengan orang-orang yang pernah tinggal bersamanya setelah ia lulus SMA dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Terutama Mala. Entah mengapa, setiap Rusli melihat Mala, ia menjadi murka dalam sekejap. Lelaki itu seperti menyimpan dendam besar yang tidak bisa ia beberkan secara langsung.