Ada yang awalnya peduli, lalu setelahnya pergi. Ada yang awalnya penasaran sebelum akhirnya merasa bosan.
PEREMPUAN itu meratapi nasibnya sendirian. Ia menangis sembunyi-sembunyi di dini hari saat keluarganya sudah terlelap menutup hari. Perempuan itu ketakutan dalam kesalahan yang tidak bisa ia utarakan. Pikirannya terus saja berkelindan dalam rentetan kemungkinan. Ia tak bisa menjalani hari dengan tenang. Mala yang malang. Perempuan itu kini tak bisa tidur lantaran memikirkan apa yang akan terjadi di hari mendatang.
Sudah satu minggu Usman tidak mau menemuinya. Tidak pula mau duduk bersama untuk menyelesaikan apa yang belum terselesaikan di antara keduanya. Masalahnya adalah apa yang terjadi pada sepasang kekasih itu bukanlah sesuatu yang sederhana. Melainkan sesuatu yang membahana.
Sudah jauh-jauh hari Mala disuruh untuk memikirkan baik-baik hubungannya bersama Usman oleh pihak keluarga, tetapi perempuan itu tetap mantap dengan pilihannya. Ia benar-benar dibutai akan cinta sebelum pada akhirnya menyesali keputusannya setelah terkatung-katung menanggung sakit.
Selimut tipis menutupi tubuhnya. Tangisnya terus-terusan pecah. Mala tak pernah menyangka ia bisa berada di situasi paling rumit dalam hidupnya. Setelah bertahun-tahun menghadapi peliknya masalah keluarga, setelah kerikil demi kerikil bisa ia lalui dengan tabah, ia akhirnya berada pada titik rapuhnya. Perempuan itu memeluk luka-lukanya dengan air mata.
Mala memejamkan matanya, mencoba menenangkan dirinya barang sejenak. Ia benar-benar seorang diri. Ia tak berani bercerita pada siapa pun.
“Ampuni aku, Tuhan ....” Mala menangis lirih. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengadu kepada Tuhan atas dosa-dosa yang ia lakukan dengan sadar diri. Jalan yang ia tempuh terlampau jauh hingga ia tersesat sampai-sampai kehilangan jati diri. Mala melupakan pedoman-pedoman kebaikan yang selalu diajarkan oleh guru mengajinya sewaktu kecil, yang selalu ia bagikan kepada Romlah dan Rusli. Sebab, saat ia kecil, Romlah sama sekali tak paham agama, pun tak terlalu pandai dalam pelajaran lantaran ibunya itu tak pernah menyicip rasanya bangku sekolah. Waktu itu, Mala sebisa mungkin belajar dengan giat, mengaji dengan rajin di langgar, dan membagi ilmu yang ia dapat itu ke ibunya.
“Bu, maafkan Mala. Maafkan Mala, Bu ....”
Tangisan Mala kian deras. Berkali-kali ia mengucap maaf kepada Tuhan, kepada sang ibu, pun kepada dirinya sendiri. Samar-samar ingatannya tertuju kepada mendiang ibunya. Mala teringat bagaimana ia, Rusli, dan Romlah hidup bertiga di kampung sebelum bepergian ke kota. Ingatannya bergelantungan akan satu sosok perempuan yang dirindukannya selalu. Romlah seperti hadir di mimpi perempuan yang tengah berbadan dua itu ....
***
Romlah duduk takzim di depan lampu teplok yang menyala remang. Samar asap lampu minyak tadi melayang, meliuk di udara, membumbung ke langit-langit, menghitami sarang laba-laba yang telah lama ditinggalkan penghuninya, lalu menyelinap keluar dari atap nipah yang robek dimakan usia. Sedang kedua netra perempuan bertubuh ceking itu, masih lekat menatap teduh wajah Mala, bocah sepuluh tahun, yang terlelap di atas pangkuannya.
Barangkali saat ini Mala benar-benar merasa kelelahan setelah berjam-jam ia bersusah payah mengajarkan huruf hijaiah pada sang ibu. Seperti biasa, setelah bakda Isya, bocah berambut pendek sebahu itu akan pulang dari langgar selepas mengaji. Sesampainya Mala di rumah, ia akan selalu menemukan sosok Romlah sudah duduk di ruang tengah yang cuma beralaskan tikar pandan hasil anyaman almarhum bapaknya yang usianya sudah tentu lebih tua daripada umur Mala. Di sana, ibunya pasti telah mengenakan mukena putih usang andalannya, ditemani lampu teplok yang minyaknya selalu diisi penuh saban sore. Sedang Rusli tidur di kamar sendirian. Anak laki-lakinya itu memang tidak begitu senang berkumpul dengan keluarga setelah kematian bapaknya. Ia lebih memilih mengasingkan diri sendirian.
“Belajar huruf apa lagi kita hari ini, Nak?” tanya Romlah dengan mata berbinar.
Jika kebanyakan orang tua di kampung mereka yang mengajarkan anaknya mengaji, namun tidak demikian halnya dengan Romlah. Apa yang ia lakukan justru berlaku sebaliknya. Mala lah yang dengan bersusah payah mengajarkan perempuan buta huruf itu untuk mengaji. Maklum saja, sejak dulu, Romlah sama sekali tidak pernah mengecap bangku sekolah lantaran kemelaratan yang sepertinya telah berlangsung secara turun temurun dalam silsilah keluarga perempuan tersebut.
“Huruf ‘lam’, Bu.” Mala membuka lembaran Iqra yang sengaja ia batasi dengan sebatang lidi dari tulang daun nipah kering. Apa yang ia pelajari dari Ustaz Muklis di langgar tadi, selalu akan ia teruskan kepada sang ibu. “Ini yang namanya huruf ‘lam’,” ajar bocah sembilan tahun tersebut.