Ia berada di persimpangan luka, dengan titik di mana batas antara suka dan duka.
KETIKA kecil Rusli tidak banyak merasakan bagaimana kasih sayang seorang bapak. Tapi ia ingat bagaimana mendiang bapaknya menggendongi tubuh kurusnya ketika ia ketiduran mengerjakan PR di ruang tengah. Ia ingat bagaimana bapaknya memberikan petuah saat sang ibu memarahinya lantaran kenakalan yang wajar dilakukan oleh anak kecil. Ia ingat bagaimana bapaknya selalu berhasil menenangkan dirinya barang sejenak ketika ia pulang-pulang dari sekolah dan menangis lantaran teman-temannya mengolok-olok dirinya yang tak punya mainan. Deretan ingatan bersama bapaknya itu tampak samar-samar. Tak banyak kenangan yang ia dapat dari mendiang bapaknya itu. Meskipun begitu, Rusli benar-benar merasa kehilangan ketika bapaknya diambil oleh Tuhan. Dunia Rusli runtuh seketika, ia kehilangan laki-laki yang begitu pekerja keras demi anak dan istrinya.
Waktu itu, Rusli masih berumur sepuluh tahun. Ia masih butuh figure seorang bapak, tetapi Tuhan malah mengambilnya lebih awal. Ia sempat membenci Tuhan, menganggap apa yang terjadi dengan dirinya tidaklah adil untuk dilalui seorang anak seperti dirinya. Kebenciannya itu makin bertambah setiap hari tatkala semuanya seakan tidak bisa diatasi lagi. Ia benar-benar menganggap Tuhan tidak adil kepada umat-Nya.
Sejak kematian bapaknya, Rusli menjadi sosok yang lebih senang menyendiri. Ketika Romlah dan Mala selalu mengobrol selepas adiknya itu pulang dari surau, ia memilih untuk masuk ke kamar, lalu memaksa matanya untuk tertutup. Ia menyanyangi Romlah dan Mala, tetapi menjadi satu-satunya laki-laki di keluarganya membuatnya tidak bergairah. Maka dengan alasan itulah mengapa ia lebih senang menghabiskan waktunya di luar rumah, sekadar bermain bersama teman-teman sebayanya sampai larut atau mencari tempat di mana ia bisa tenang seorang diri. Sendirian.
Bagi Rusli, hidup tanpa kepala keluarga adalah jalan yang dilauinya tanpa peta, tanpa arah yang jelas. Ia tak pernah tahu bagaimana rasanya dibanggakan atas apa yang sudah ia lakukan. Nilai-nilai yang awalnya bagus perlahan-lahan menurun lantaran ia tak pernah dapat pujian dari orang tua seperti yang diceritakan teman-temannya. Dari situlah, Rusli menjelma menjadi seseorang yang tidak mau terlalu memikirkan sesuatu yang membuat kepalanya nyaris pecah. Ia pergi ke sekolah hanya sebatas untuk menggugurkan kewajibannya sebagai pelajar, pulang ke rumah dan membantu ibunya pun lantaran kewajibannya menjadi seorang anak.
Ia tak punya gairah hidup yang lebih baik setelah bapaknya meninggal. Fokusnya hanya satu, ia ingin cepat mendapat pekerjaan, mengumpulkan pundi-pundi rupiah hingga ia bisa hidup tenang dan bebas dari kemiskinan. Setelah apa yang ia lalui, Rusli pikir menjadi kaya adalah satu-satunya cara untuk menjemput kebahagiaan itu.
Setelah hari-hari yang ia lalui dengan penuh keterpaksaan, Rusli dihadapkan pada situsi di mana Romlah bertemu dengan lelaki yang mempersunting ibunya itu dan berjanji akan merawat serta bertanggung jawab penuh atas kebahagiaan mereka. Satu keluarga itu dibawa ke kota, meninggalkan kampung di mana banyak kenangan yang sudah tercipta.