Cinta itu semakin hambar di tengah masalah yang semakin melebar. Cinta itu habis dimakan keadaan yang tidak lagi manis.
MALAM menggantung tembaga. Mata Seli tertuju pada ruang makan rumahnya. Ia berjalan mendekati Ito yang sudah duduk di ruang makan.
“Kau habis dari mana?” Seli bertanya sambil ikut duduk di atas meja makan bersama Ito, sang suami. Matanya menyorotkan kecurigaan. Beberapa minggu terakhir, Seli merasa ada yang tidak beres dengan Ito. Suaminya itu sering bepergian ke luar rumah seorang diri tanpa mengajaknya lagi seperti yang sudah-sudah. Dan ketika Seli menanyakan hal tersebut, Ito hanya menjawab seadanya. Untuk mencari angin saja katanya.
“Cari angin.” Setelah menjawab, Ito beranjak dari tempat duduknya. Berdiri. Mencoba menghindari Seli seperti kemarin-kemarin.
“Mencoba melarikan diri lagi?”
Pertanyaan Seli itu sontak menghentikan langkah kaki Ito. Seli bisa melihat lelaki bertubuh agak gempal itu menelan ludah sekali dua kali. Ujung bibirnya digigit. Seli tahu, menurut Ito, pembahasan mereka ini tak akan ada habisnya. Mungkin karena itulah Ito memilih untuk tidak membicarakan topik yang sama sekarang. Sebab, ia tahu kalau amarah masih memenuhi kepala Seli. Dan apabila Ito turut meluapkan kemarahannya, maka mereka pasti akan berada di situasi yang membakar kewarasan. Dan itu akan memperburuk keadaan.
Masih teringat jelas di ingatan Seli ketika tidak sadar suaminya itu membalas omelannya yang tak kunjung padam. Waktu itu, arah jarum jam menunjukkan pukul 8:00 malam. Amarah Seli meletup-letup. Dan entah karena kesabaran Ito juga telah habis, lelaki itu pun turut meledak-ledak. Lantas membuat mereka dirundung amarah yang tak kunjung selesai. Mereka memilih mendiamkan diri satu sama lain, menganggap keheningan menjadi jawaban dari ego-ego yang berkelindan di dalam tempurung kepala mereka.
“Aku mau tidur. Jangan bahas yang aneh-aneh dulu, ya.”
Setelah menjawab, Ito langsung bergegas pergi menuju kamar. Meninggalkan Seli yang masih duduk sambil melihat punggung Ito yang pelan-pelan hilang dari penglihatan perempuan itu. Tanpa sadar, air mata Seli jatuh. Makin ke sini, Seli merasa hidupnya kian hambar. Hubungannya dengan Ito belakangan menjadi dingin. Tidak ada lagi obrolan-obrolan panjang yang keluar dari mulut sepasang suami istri itu. Tidak ada lagi cerita-cerita yang ia dan Ito bagikan satu sama lain.
Di usia pernikahan mereka yang sudah lebih dari dua tahun, Seli merasa hanya cintanya yang makin hari makin besar. Sedang Ito seperti biasa-biasa saja. Mungkin benar kata banyak orang, bahwa perempuan jatuh cinta mulai dari angka nol ke seratus, sedang lelaki sebaliknya: dari seratus ke nol. Perempuan kian menanjak, sedangkan laki-laki seiring berjalannya waktu makin merosot. Entah apakah itu benar atau tidak. Melihat kondisi mereka, Seli merasa sepertinya memang begitu.
Seli ingat, sebelum dinikahi oleh Ito, keluarga suaminya itu sangatlah baik. Menerima dirinya dalam kondisi apa pun. Padahal, keluarga Ito ada keluarga yang paling taat. Dan juga bisa dibilang berada. Tetapi, ia menerima Seli begitu saja lantaran kejadian saat Seli membantu ibunya Ito kecopetan. Dari situ, Seli dikenalkan oleh Ito. Awalnya Ito menolak lantaran ia saat itu memiliki kekasih. Tetapi, entah karena apa, tidak lama dari penolakan itu, Ito kemudian menerima tawaran orang tuanya untuk menikahi Seli. Namun, seiring berjalannya waktu, keluarga Ito pun kini tak terlalu menggubris keadaan Seli. Barangkali karena kekecewaan mereka lantaran di usia pernikahan mereka yang sudah memasuki tahun kedua, Seli belum juga memberikan mereka cucu. Namun, kehamilan benar-benar di luar kendali Seli. Ia pun ingin segera memiliki anak, tetapi Tuhan tak kunjung sudi mengabulkan keinginannya itu.