Amarah itu menggantung dengan sempurna, siap menerobos orang-orang yang telah berbuat dosa dan membuat pahala-pahala di antara mereka sirna.
SETELAH hari-hari panjang yang ia lewati, hidup Ali laksana gurun pasir yang gersang. Luas, panas, dan keras. Ali mencoba melupakan luka yang terus bersarang di hatinya, tetapi ia selalu gagal. Ia tidak pernah menyangka bahwa selama perjalanan hidupnya, ia tak pernah merasa bahagia selalu mengiringi setiap langkahnya dalam waktu yang lama. Bahagia-bahagia yang muncul sekelabatan, yang bahkan Ali sendiri kadang dibuat bingung mengapa hal itu hanya hadir secepat kilat. Rasanya mendapatkan kebahagiaan dengan jangka yang lama benar-benar tidak ada di kamus hidupnya. Ia harus bergelut dengan luka-luka yang tidak tahu kapan akan berakhir. Dan belakangan ini, luka-luka itu semakin menggunung ketika kematian Mala malah menambah deretan sakit akibat beberapa hal yang disembunyikan oleh keluarganya.
Malam ini, Ali keluar bersama Zaki ke Pantai Losari. Mengajak keponakannya itu menikmati suasana malam di ikon kota Makassar. Momen bersama Zaki malam ini selalu melemparnya pada kenangannya bersama Mala. Ia beberapa kali datang ke sana bersama kakaknya itu.
Suatu hari di pertengahan tahun, Ali dan Mala mengunjungi Pantai Losari. Berdua. Setelah dihantam luka-luka, Mala mengajak Ali untuk mngobrol. Memberi tahu adik lelakinya itu sesuatu yang ia takutkan dalam hidup. Tentang Usman yang tidak mau bertanggung jawab, tentang kehamilannya yang meski Ali sudah tahu sejak ia mendapati tangisan Mala saat ia pulang bekerja di dini hari.
Waktu itu, angin pantai tak mampu mendinginkan hati Ali. Ia benar-benar tersulut emosinya, menyuruh Mala untuk membawanya menemui kekasihnya yang pengecut. Awalnya Mala menolak, mencoba menenangkan Ali bahwa ia bisa melalui semuanya tanpa bantuan siapa pun. Mala memberitahu Ali bahwa kedatangannya di Pantai Losari hanya agar supaya ia bisa membuang beban yang ada di pundaknya sebentar saja. Namun, Ali tetap saja dirundung emosi yang sangat besar, ia tetap meminta Mala untuk membawanya menemui Usman. Cukup lama Mala mengiyakan, sebelum pada akhirnya ia mendatangi kos Usman bersama Ali. Padahal hujan tiba-tiba turun sangat deras. Keduanya menerobos jalan raya yang licin hanya untuk menemui kekasih Mala yang pengecut itu.
Sudah jauh-jauh hari Ali selalu mewanti-wanti Mala mengenai Usman. Dari penglihatan Ali, memang ada yang tidak beres dengan lelaki itu. Keyakinan Ali bertambah saat ia sudah mulai bekerja. Orang-orang yang ditemui Ali mulai beragam. Bukan lagi sekadar anak sekolah, tetapi lebih dari bocah-bocah ingusan. Dan Rusli selalu jadi sorotan Ali ketika Mala mulai memperkenalkan lelaki itu di hadapan keluarga. Ali tidak mau Mala kecewa dengan pilihannya itu.
Waktu itu, sesampainya ia di lokasi, amarah Ali masih kokoh bergelantungan. Ia mengetuk-ngetuk pintu kos Usman dengan keras. Beberapa penghuni kamar yang lain sampai menengok keluar lantaran teriakan Ali yang meggelegar. Suara derasnya hujan bercampur dengan teriakan Ali yang membabi buta. Mala berkali-kali menenangkan adiknya itu, memohon agar suara Ali lebih dikecilkan lagi agar tidak mengganggu penghuni kos lainnya. Tapi Ali benar-benar tidak bisa lagi mengontrol dirinya, ia harus bertemu dengan Usman. Menemui lelaki yang sudah menghancurkan masa depan kakaknya.
Memikirkan bagaimana Mala tersiksa setelah mengetahui kehamilannya, membuat hati Ali terpukul. Bagaimana tidak, saat masih bersekolah, sepeninggalan ibunya, kepada Mala lah Ali bisa meminta kebutuhan yang Bachtiar tak bisa kasih lantaran pekerjaan yang tidak lagi pernah berdatangan. Mala satu-satunya orang yang memikirkan kebutuhan sekolahnya. Sedang Rusli setelah mendapatkan pekerjaan dan memutuskan untuk meninggalkan rumah, ia tak pernah sama sekali menanyakan kabar atau bahkan membantu kebutuhan sekolah adik-adiknya. Kakak tertuanya itu benar-benar mengasingkan diri setelah kematian Romlah.
Kepada kakak perempuannya itulah Ali menggantungkan harapannya. Mala benar-benar perempuan yang hebat. Yang dengan keterbatasan pendididkan, ia berusaha mencari pekerjaan meski hanya sebatas penjaga sepatu di salah satu toko yang ada di pasar. Ia tak pernah merasa malu akan hal itu. Mala melakukan itu hanya untuk mencukupi kebutuhan keluarga yang semakin pas-pasan lantaran Bachtiar benar-benar susah mendapatkan pekerjaan. Ditambah lelaki yang usianya sudah tidak muda lagi itu kini sudah sangat berubah. Semangat kerja Bachtiar semakin menurun saja.
Ali ingat, ketika tas dan sepatu sekolahnya rusak, ia menangis dan tidak mau pergi ke sekolah. Seli memukulnya berkali-kali, mengatakan bahwa tidak ada gunanya mengeluarkan air mata sebanyak-banyaknya, Ali tak akan pernah mendapat sepatu dan tas baru seperti yang ia rewelkan dalam tangisnya. Lagi-lagi Bachtiar belum juga dapat pekerjaan dan memutuskan untuk tidak pulang ke rumah berhari-hari. Lalu malamnya, ketika Mala pulang bekerja, dengan tangis yang masih pecah meski tidak sebesar pagi hari, senyum Ali langsung terukir saat Mala menenteng sebuah kantong keresek berukuran besar yang di dalamnya berisi sepatu dan tas baru untuknya. Meski Ali tahu sepatu yang dibeli kakaknya itu hanyalah barang bekas, tapi itu sudah lebih dari cukup dibanding sepatu lama Ali yang sudah robek akibat dimakan usia. Senanglah perasaan Ali malam itu, dan lagi-lagi itu semua berkat Mala. Tanpa Ali tahu, Mala membeli itu semua dari hasil mengutang ke rekan kerjanya. Tersebab uang yang ada di dompetnya hanya cukup untuk mereka makan sampai akhir bulan yang masih ada sepuluh hari lagi.
“Usman!” Ali berteriak lebih kencang, memanggil terus-terusan nama kekasih Mala yang belum juga membukakan pintu. Hampir setengah jam dari kedatangannya, Usman baru berani membuka pintu kosnya. Dengan gerakan cepat, helem yang ditenteng Ali sedari tadi dilempar mengenai kepala Usman. Membuat lelaki itu meringis kesakitan. Mala langsung dengan sigap menahan tubuh Ali agar tidak melakukan tindakan yang lebih. Ia tak ingin ada keributan pada saat itu. Apalagi melihat kondisi Usman yang sebelumnya tidak mau bertanggung jawab, ia takut kedatangan Ali dengan kepala yang sudah membakar kewarasannya itu malah membuat Usman semakin lari dari tanggung jawab.
“Kau datang ke rumah kami sekarang. Menemui keluaragku. Kau harus bertanggung jawab.”
Usman memilih diam. Lelaki itu seperti orang bisu yang tak mengatakan satu kata pun. Ali tak tinggal diam, ia terus-terusan meneriaki Usman dengan sebutan lelaki pengecut. Berkali-kali hingga Usman terpancing emosinya dan ikut meneriaki Ali.
“Memangnya kenapa kalau aku pengecut? Kau tahu apa masalah orang dewasa. Kau itu masih kecil, masih ingusan. Tidak usah menjadi pahlawan untuk kakakmu yang pelacur ini!”
Satu pukulan mengenai wajah Usman. Adik mana yang tidak sakit hati ketika kakaknya dikatai demikian dalam kondisi hamil seperti itu? Dan yang mengatai adalah lelaki yang menghamilinya pula.
Ali tahu Mala tidak semurah itu. Apa yang terjadi dengan kakaknya itu pun pastilah hanya karena nafsu sesaat yang mungkin menghilangkan akal sehat Mala. Atau bisa saja ada alasan lain yang membuat Mala sudi melakukan itu semua.
Situasi waktu itu benar-benar semakin memanas. Orang-orang berdatangan, memisahkan Ali dan Usman yang sudah saling pukul satu sama lain. Mala menarik lengan Ali, mengajak adiknya itu untuk pergi karena orang-orang sudah terlalu banyak mengelilingi mereka.