Ingatan itu acap kali hadir menyapa di tengah kekalutan hidup yang dirasa.
USMAN sudah berdiri di lorong kos Ali sore ini. Dua hari sudah Ali bersama Zaki, besok pun ia sudah kembali bekerja. Seperti biasa, setiap kali melihat Usman, ia lagi-lagi teringat bagaimana lelaki itu berkali-kali melakukan hal yang melukai hati Mala. Baik fisik mau pun mental.
Ali tidak akan pernah lupa bagaimana Usman selalu meneriaki Mala, memukul, lalu mengata-ngatai kakak perempuannya itu di hadapan anaknya yang masih kecil. Ali hanya tidak tahu apa yang ada di dalam kepala Usman. Mengapa laki-laki itu tega mengibuli kakaknya. Tidak puaskah ia menyakiti Mala dengan ucapan dan kekerasan yang ia sudah lakukan?
Usman seperti orang yang kehilangan akal. Laki-laki itu menghancurkan satu keluarga yang memang sudah berada di ujung tanduk. Padahal, Mala mencintai Usman dengan tulus. Kepada Usmanlah Mala berharap hidupnya jauh lebih bagus. Tapi ternyata ia keliru, Usman bukanlah laki-laki yang baik. Usman hanyalah manusia dengan pemikiran licik di kepalanya yang dengan mudah menghancurkan hidup Mala dalam satu waktu.
Ali berjalan pelan sambil menggandeng tangan mungil Zaki. Tatapannya masih setia sejurusan dengan posisi Usman. Ia memerhatikan penampilan suami mendiang kakaknya itu. Perawakannya tambah urakan saja. Rambutnya semakin gondrong, kumis dan janggutnya semakin lebat, celana jeans biru yang dikenakannya pun disengajai robek bagian lututnya. Satu-satunya yang menarik dari Usman hanyalah badannya yang atletis dan tinggi. Selebihnya tidak ada yang bisa diandalkan.
“Zaki ikut Bapak dulu, ya. Nanti Om Ali ajak Zaki main lagi.” Ali mendaratkan ciumannya ke pipi bakpao milik Zaki, lalu lanjut ke kening bocah itu. Aroma minyak telon semerbak di tubuh Zaki.
Seperti yang sudah-sudah, setiap kali ia membawa kembali Zaki ke hadapan Usman, sesak memenuhi seisi dadanya. Ia harus menyerahkan anak berumur tiga tahun itu kepada lelaki tempramental seperti Usman. Meski lelaki itu adalah bapak kandung Zaki, tetapi semasa Mala masih hidup, ia selalu menangkap Usman berlaku kasar kepada Zaki, pun Mala. Dengan alasan itulah ia selalu merasa waswas ketika Zaki berada di dekat Usman.
Ia tidak tahu Zaki hidup seperti apa dengan bapaknya itu. Tetapi, Ali tak punya pilihan lain. Ia takut kalau ia bertindak lebih jauh, Usman akan murka dan tidak membiarkan anak itu untuk menemuinya lagi. Yang bisa Ali lakukan saat ini hanyalah agar rasa sabarnya bisa lebih membumbung tinggi. Atau kalau bisa ia bertindak jahat, ia lebih memilih mendoakan Usman agar cepat mati saja. Ia tidak tahu, mengapa Tuhan selalu mengambil orang-orang yang ia sayangi, sedang orang yang begitu ia benci malah masih bisa ia lihat di sepanjang napasnya.
Ali tahu, doa-doa buruk tidak akan dikabulkan oleh Tuhan, namun setiap kali memikirkan bagaimana Usman masih hidup sehat dan akan selalu ia lihat saat lelaki itu menjemput Zaki membuat Ali kadang jengkel sendirian.
Kematian Romlah dan Mala adalah takdir yang dilalui Ali dengan penuh air mata. Ia bahkan tidak tahu lagi bagaimana caranya melanjutkan hidup dengan tanpa dibayang-bayangi kematian orang tersayangnya tersebut. Jika bisa memilih, Ali mending hidup dalam kemiskinan yang hampir membunuhnya pelan-pelan ketimbang harus hidup tanpa orang-orang yang ia sayangi.