MELAWAT

Aldi A.
Chapter #25

DELAPAN BELAS

Cinta yang berakhir seperti ditusuk sembilu, yang memakan habis sebagian kewarasan lelaki itu.


PANTAI Losari menjadi tempat yang paling tenang saat ini. Pukul 4:00 sore tapi suasana di sini sangat menenangkan. Belum lagi, Makassar hari ini dilanda mendung. Ali menunggu kedatangan Sisil. Setelah percakapannya dengan Seli pagi tadi, Ali akhirnya ingin membicarakan sesuatu hal yang penting dengan Sisil. Ia tidak tahu apakah keputusan yang akan ia sampaikan itu sudah benar atau tidak, tetapi membiarkan hubungan keduanya jalan di tempat juga bukanlah pilihan yang tepat.

Mereka sudah terlalu jauh melangkah, mengarungi setiap luka-luka yang ada, tapi sepasang kekasih itu masih terombang-ambing dalam ketidakjelasan hubungan mereka.

Ali menarik napasnya dalam-dalam. Tarikan yang sangat panjang. Beberapa helai rambutnya yang mulai memanjang berterbangan. Angin sepoi-sepoi cukup mampu menenangkan Ali dari kegelisahaan yang semakin memeluknya setelah pembahasannya bersama Seli di kamar kosnya.

Apa pun itu, kalau menurutmu yang berjuang cuma satu orang, kau harus siap dengan kemungkinan terburuk dalam hidupmu, Li. Kau lihat apa yang terjadi denganku dan Mala, kami sama-sama terlalu mencintai seseorang, sampai lupa takar mencintai yang lebih besar harusnya ditujukan pada Tuhan semata. Karena berharap lebih pada manusia adalah sebenar-sebenarnya kekecewaan.

Ali pikir, hubungannya dengan Sisil akan berjalan mulus. Tapi, pada akhirnya, sebagai seorang lelaki yang sudah dewasa, ia harus lebih tegas atas hubungannya itu. Perempuan adalah makhluk perasa, kadang mungkin ada hal yang mereka ingin utarakan namun tidak bisa dikatakan secara gamblang. Ali melihat Sisil seperti itu. Berkali-kali, perempuan itu selalu mengode Ali mengenai hubungan mereka yang akan dibawa ke mana nantinya. Tetapi berkali-kali juga Ali selalu mengalihkan pembahasan itu dengan obrolan-obrolan yang sebenarnya tidak begitu penting. Ali selalu lari. Lebih tepatnya sengaja berlari.

Ali mengakui dirinya adalah lelaki pengecut. Ia tidak bisa mengambil keputusan atas hidupnya. Ia terlalu takut melangkah, laki-laki itu terlalu dipecundangi keadaan. Dan kali ini, ia benar-benar akan betindak tegas dengan hubungannya. Ali akan memberi kepastian pada Sisil.

“Kau sudah lama menunggu, Li?” Sisil ikut duduk di samping Ali. Mereka berdua duduk di atas batu penyangga di sepanjang pantai. Hanya ada beberapa orang terlihat. Barangkali karena bukan hari libur makanya Pantai Losari sore ini tidak terlalu ramai. Beberapa gerobak yang menjual jajanan khas Makassar baru saja tiba. Mereka memasang tenda, menjejerkan kursi-kursi plastiknya, dan merapikan alat dan bahan jualannya.

Mata Ali terbelalak. Fokusnya sekarang mengarah pada jaket biru navy yang dikasih Ali untuk Sisil setahun lalu dikenakan kekasihnya itu sore ini. Ali tersenyum kecut. Sisil memang selalu menghargai pemberiannya. Padahal barang yang ia kasih bukanlah barang yang harganya mahal, tapi perempuan itu sudi menerima apa yang dikasih oleh Ali.

“Tidak juga. Aku baru sampai sekitar lima menit yang lalu.” Ali menjawab dengan melempar senyum. Ia tidak tahu, sudah berapa banyak lagi senyum yang tercipta selama berada di dekat Sisil. Bagi Ali, setelah banyaknya luka yang datang di hidupnya, Sisil menjadi salah satu pereda sakit yang menggerogoti. Dan itu sudah berlangsung sangat lama. Empat tahun yang lalu, saat mereka masih duduk di bangku SMA.

Ali sebenarnya tidak pernah tahu dengan pasti, apakah perempuan berambut gelombang di sebelahnya itu benar-benar merasa bahagia atau hanya bertahan lantaran merasa kasihan. Banyak hal di pikiran Ali yang bertandang. Pikiran-pikiran yang kadang membuatnya merasa gagal menjadi apa pun. Menjadi anak, menjadi adik, menjadi om, bahkan menjadi pacar sekali pun.

“Kau mau bicara apa, Li?”

Sisil meletakkan tas selempang kecil berwarna hitam di samping kirinya, di tengah-tengah mereka. Tas selempang itu menjadi penengah di antara mereka. Sepasang kekasih itu dilanda kecanggungan yang meraja.

Setelah mendapat pesan dari Ali, Sisil pikir ada hal penting yang memang akan disampaikan Ali. Sisil berharap lebih dari kedatangannya ini. Ia memikirkan sesuatu yang ia nanti-nantikan. Di pikirannya, tidak lama lagi Ali akan mengeluarkan sebuah kotak cincin merah cerah berbentuk hati di hadapannya, lalu melamarnya di Pantai Losari sore ini. Romantis sekali.

“Ada hal penting yang ingin aku sampaikan padamu, Sil.”

Sisil tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia malu bukan main. Di perutnya seperti ada kupu-kupu yang berterbangan. Ia seperti jatuh cinta lagi seperti pertama kali bertemu dengan Ali.

Lihat selengkapnya