Tidak ada jatuh cinta yang lebih indah dari jatuh cintanya manusia kepada Tuhannya.
PEREMPUAN itu menangis setelah dipukuli berkali-kali oleh lelaki yang dengan bangga ia kenalkan pada keluarganya sebagai suami. Ia menjatuhkan harga dirinya demi lelaki yang dengan tega menyakitinya di hadapan anaknya. Ia tidak peduli dengan omongan orang-orang (keluarga, pun para tentangga kos) mengenai suaminya. Mala tahu, nasi telah menjadi bubur. Apa yang sudah terjadi tidak bisa lagi ia sesali. Ia menerima semua perlakuan Usman dengan berlapang hati, apa pun itu.
Perempuan itu rela dipukuli, dikata-katai, bahkan diludahi sekali pun. Tidak mengapa. Bagi Mala itu tidak apa-apa baginya. Tapi, ia tidak bisa menerima apa yang baru saja ia ketahui dari sosok Usman. Lelaki itu berselingkuh. Tidak. Lebih dari itu. Usman seperti orang yang benar-benar kehilangan akal.
Mala tidak pernah mempermasalahkan jika ia diperlakukan dengan tidak baik oleh suaminya itu. Hanya saja mengapa Usman tidak melihat keberadaan Zaki. Mengapa ia tak pernah memikirkan nasib anaknya itu. Zaki juga darah daging Usman, tetapi menggendong sebentar saja tidak penah ia lakukan. Mala benar-benar seperti orang yang pundaknya dipenuhi barang dengan muatan yang melebihi mobil kontainer. Berat sudah hidupnya. Dari dulu sampai sekarang, ia merasa beban di pundaknya tidak pernah ringan.
Perempuan itu kadang makan tak makan. Tubuhnya semakin kurus saja. Tulang-tulang di lingkaran lehernya sudah tampak jelas. Beberapa luka lebam yang ia dapat dari pukulan Usman masih membekas. Ngilu dirasanya ketika sehabis ia mandi, tapi lagi-lagi Mala selalu terima apa yang dilakukan Usman kepadanya. Demi sang buah hati. Demi anaknya bernama Zaki.
Ia mengurus anaknya sendirian dengan pikiran di kepalanya yang begitu banyak menumpuk. Ia memikirkan apa yang akan terjadi besoknya. Deretan pertanyaan memenuhi ruang kepalanya. Apakah Usman bisa membayar uang bulanan kosnya yang sudah menunggak dua bulan lamanya? Apakah ia masih bisa makan meski hanya sekali saja dalam sehari? Atau pukulan bagian mana lagi yang ia dapat dari suaminya itu? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang berderet di kepalanya.
Mala menangis setiap malam. Rutinitas itu tak pernah absen. Ia mencoba memaksa dirinya untuk tidak merengek atas apa yang ia jalani, tapi air matanya jatuh secara spontan. Membayangkan dirinya dulu bisa bekerja, membiayai adik-adiknya, menghidupi dirinya yang masih gadis, membuat Mala kadang ingin mengulang waktu hingga tidak luput dari dosa yang sudah ia perbuat.