Lelaki itu menangis dalam hening, setelah puas meminum luka-lukanya sampai kering.
KANTONG plastik berukuran besar disimpan Ali di atas meja. Seperti biasa, setiap sekali seminggu ia akan mengunjungi Bachtiar, membawakan sang bapak kebutuhan sehari-harinya. Ali baru saja pulang bekerja, tetapi ia menyempatkan untuk datang di rumah ini.
Mata Ali sayu kehitaman akibat berjam-jam menangis dan hanya tidur hitungan menit saja. Kadang bangun, kadang tidur. Pikiran lelaki itu benar-benar kalang kabut. Ia bahkan tidak fokus bekerja.
Kemarin, setelah ia memutuskan hubungannya dengan Sisil, ia tidak tahu pilihannya itu sudah yang terbaik atau tidak. Foto profil WA Sisil sudah diganti dengan gambar Pantai Losari hasil dari tangkapan fotonya. Padahal, sebelum berubah menjadi gambar Pantai Losari, foto profil Sisil adalah potret mereka berdua yang saling melempar senyum. Namun, ia sudah mengakhiri semuanya. Ia berharap, apa pun itu, ke depannya Sisil selalu dalam kebahagiaan yang menyelimuti hari-harinya.
Ia ingin melihat Sisil merasakan kebahagiaan yang nyata. Keluarga perempuan itu selalu memberikan kehangatan untuk Sisil, sedang keluarga Ali tidak akan pernah ada kehangatan di dalamnya. Mereka seperti air dan minyak yang sulit menyatu. Banyak perbedaan itu yang membuat Ali merasa tidak pantas untuk dicintai perempuan seperti Sisil. Apalagi saat ini ia masih belum memiliki banyak tabungan. Sebagian gajinya bahkan ia sisihkan untuk kebutuhan Zaki dan bapaknya. Tabungan-tabungan yang selalu ia simpan di Sisil selalu ditariknya sewaktu Mala masih ada. Sering kali Mala meminta tolong padanya pada saat waktu gajian masihlah lama. Dan karena tidak punya pilihan lain, ia menarik sedikit demi sedikit tabungan yang ia simpan untuk biaya pernikahannya kelak bersama Sisil.
“Kau baru pulang kerja, Nak?” Bachtiar antusias melihat Ali ada di rumah. Sepertinya ia benar-benar merindukan anak-anaknya di rumah ini. Bachtiar selalu berharap agar Rusli, Seli, dan Ali bisa menetap di rumah di mana mereka tumbuh dewasa. Bachtiar ingin masa tuanya dikelilingi anak-anaknya itu. Tapi, setelah malam takziah ketiga kematian Mala, Bachtiar sadar keinginannya itu sangat sulit untuk tercapai lagi. Mereka sudah seperti orang asing. Mereka milih untuk hidup di jalan masing-masing.
“Iya, Pak. Ali balik dulu, ya. Kalau ada yang kurang, nanti telepon Ali saja, ya, Pak.” Ali berdiri dari tempatnya duduk. Padahal Bachtiar baru saja duduk di sebelahnya. Belum juga lima menit mereka bertemu, tapi Ali sudah pamit untuk pergi lagi dari rumah. Meninggalkan Bachtiar yang masih dengan kerinduannya yang sangat dalam.
Hal-hal yang membuatnya menjadi kesepian selalu membuat Bachtiar berpikir ia gagal menjadi kepala keluarga. Apa yang sudah ia lakukan setelah Romlah meninggal memang sangatlah memalukan. Bachtiar berubah atas dasar Tuhan tak pernah mendengar doa-doa yang selalu ia panjatkan. Ia pulang-pulang dengan bau minuman alkohol yang menguar dari tubuhnya. Awalnya, ia hanya mencoba lantaran pusing di kepalanya tak kunjung hilang. Tapi minuman alkohol itu semacam candu baginya. Hal itulah yang membuat Ali memutuskan untuk pergi dari rumah. Baru beberapa bulan terakhir ini aktivitas bermabuk-mabukan Bachtiar tidak lagi ia tekuni. Ia mencoba lebih dekat dengan Tuhan. Memohon ampun, meminta agar anak-anaknya bisa kembali lagi untuk hidup bersamanya. Namun, permintaannya itu tidak dikabulkan, anak-anaknya tetap memilih untuk tidak kembali ke rumah.
“Kau tidak mau bermalam di sini, Nak? Malam ini saja,” tanya Bachtiar. Di benak lelaki berusia senja itu sekarang, ia berharap Ali mengiyakan ajakannya itu.
“Tidak, Pak. Ali istirahat di kos Ali saja.”
“Jangan pulang dulu, ya. Satu jam saja, Nak. Bapak mau cerita banyak hal.”