Hidup itu sakit, kalau tidak sakit bukan hidup namanya!
“KAU baik-baik saja?”
Untuk ke sekian kalinya, Sisil tidak sengaja bertemu Ali di belakang lab bahasa. Air mata lelaki itu menggenang di pelupuk mata, lalu mengairi pipi. Sedang batang rokok yang sudah menyusut, terapit sempurna di antara jari tengah dan jari telunjuk tangan kirinya. Sisil bingung, entah apa yang terjadi pada sosok Ali belakangan ini. Ia lebih banyak diam. Sekalinya bicara, ia malah meledak-ledak seperti orang kesetanan. Dan seperti hari-hari kemarin, Sisil kembali memberanikan diri menegur lebih awal lelaki bermata sendu itu.
Ali hanya mengangguk pelan. Sisa rokok di tangannya dibuang ke sembarang arah. Sedang matanya, tetap saja seperti menyorotkan perihal kepedihan.
“Capek, ya, Li?”
Banyak hal menarik sebenarnya yang ingin Sisil ketahui dalam diri Ali. Ia sering menemukan lelaki itu dalam kondisi yang tidak baik. Kalau bukan menangis di tempat sepi atau menyakiti dirinya sendiri dengan cara yang konyol, Ali lebih memilih mengasingkan diri dari orang-orang di sekitarnya. Namun, dari itu semua, Sisil bisa lebih mengenal Ali. Entah bagaimana cara menjelaskannya, takdir selalu membawa Sisil pada lorong masa lalu Ali. Lorong penuh kecemasan, ketakutan, kepedihan, dan tak jarang terselip perasaan bahagia. Lantas, mengantarkan Sisil pada titik di mana mereka menjadi dua orang yang tidak lagi asing. Semuanya bermula ketika Sisil tak sengaja melihat Ali sedang berada di tempat gelap, duduk di lantai koridor lantai dua sekolah mereka seorang diri sambil berteriak, “Bukan aku pelakunya!”
Sejak kejadian itu, Sisil yakin, ada kesakitan teramat besar yang sedang dihadapi oleh Ali. Yang tidak ingin Ali bagi pada siapa pun. Kesakitan yang lelaki itu lawan dengan cara konyol: ikut-ikutan tawuran atau hal-hal lain yang membuat wajahnya babak belur. Pernah satu kali Sisil bertanya pada Ali mengenai apa alasan ia sering membuat wajahnya terluka, dan jujur saja jawaban lelaki itu bikin Sisil kaget bukan main.
Entah Ali tidak sadar atau memang tidak tahan menyembunyikan rasa sakitnya lagi, di hari itu, ia menceritakan sedikit tentang luka-lukanya. Kata Ali, rasa sakit di hatinya lebih membahayakan ketimbang puluhan luka lebam yang hampir memenuhi wajah lelaki itu. Kata Ali lagi, sakit fisik tak jadi masalah ketimbang luka batin yang menggerogoti hatinya.
Dari kehidupan Ali, kadang Sisil berpikir, apakah masa muda sesulit itu rasanya? Apakah adil untuk anak seusianya merasakan kepahitan dalam hidup? Sejak kejadian itu pula, beberapa kali, Ali tak sengaja membagi keluhannya kepada Sisil. Meski Sisil sendiri bingung harus bersikap bagaimana, tetapi seiring berjalannya waktu, perempuan berambut panjang gelombang itu akhirnya memilih membiarkan Ali mengeluarkan semua kesakitan yang ada di hatinya. Sisil berusaha menjadi “tempat sampah” ketika Ali ingin memuntahkan segala permasalahan yang ia hadapi. Baik tentang kata-kata Rusli yang sering ia jumpai, atau perihal kondisi hubungan keluarganya yang berantakan.
“Berapa banyak cacian lagi yang harus aku dapat untuk menebus rasa bersalahku?” Ali kembali bertanya dengan sorot matanya yang sendu. Mendengar itu, Sisil langsung mengerti apa yang membuat Ali datang sepagi ini ke sekolah. Perihal hubungannya dengan Rusli yang tidak begitu baik setelah ibunya meninggal memang hanya diketahui oleh Sisil.
“Hidup ini lucu, ya, Li.” Sisil melempar senyum sebelum kembali melanjutkan ucapannya, “Dalam beberapa situasi, kau tampak kuat di hadapan orang-orang, tapi berubah drastis ketika berhadapan dengan apa yang dikatakan kakakmu itu.”
Ali meludah ke sembarang arah. Lelaki yang membiarkan pagi ini seragam sekolahnya tidak rapi itu tertawa kecil. Perlahan-lahan, hingga mencapai titik tawa yang membesar seperti orang kesetanan.