Bangkai yang ditanam akan terkuak dari bau yang menguar, sedang rahasia yang ia pendam kini mulai tersebar.
TIGA hari setelah Mala meninggal, satu keluarga itu berkumpul di ruang tengah rumah. Baru setengah jam lalu orang-orang pulang setelah datang melawat, mendengar ceramah, mengikuti takziah terakhir kematian Mala. Harusnya, setelah para tetangga pergi, satu keluarga itu bisa beristirahat karena pastilah mereka lelah setelah mempersiapkan takziah selama tiga malam berturut-turut. Mereka kurang tidur lantaran dibayang-bayangi kepergian Mala, pun meladeni orang-orang yang datang ke rumah, menanyakan apa dan bagaimana Mala bisa mati.
Namun, situasi yang terjadi malam itu benar-benar memanas. Kepala mereka dipenuhi amukan amarah yang membara, berkobar-kobar membakar kewarasan. Pembelaan demi pembelaan mereka lontarkan satu sama lain hanya untuk menyembunyikan rasa bersalah mereka atas kematian Mala.
Ali yang paling murka. Lelaki bermata sendu itu mengata-ngatai Bachtiar, Rusli, dan Seli. Ia tak pernah semarah itu, apa yang selama ini ia pendam dibeberkan semuanya.
Ali tidak akan pernah lupa bagaimana Mala diusir, dilaknat, dan tidak dianggap setelah satu dosa yang perempuan itu lakukan. Mempermalukan keluarga katanya. Padahal, mereka hanya perlu memaafkan perempuan itu.
Jika Tuhan saja bisa memaafkan orang-orang yang berada jauh di jalannya, mengapa manusia malah susah sekali memaafkan sesamanya? Kadang manusia terlampau tidak tahu diri, kadang berlaku melebihi Tuhan, kadang bahkan sampai lupa diri, menganggap dirinya makhluk yang paling suci. Mereka lupa, sebagai manusia, kesalahan itu pasti akan ada di hidup mereka. Mustahil kalau mereka tak pernah berbuat dosa semasa hidupnya. Mereka bukan malaikat dan harusnya mereka paham bahwa manusia adalah makhluk yang paling rentan kotor.
“Permintaan terakhir Mala mau Zaki dirawat dengan baik.” Ali kembali memulai pembahasan setelah masing-masing kepala mereka sudah mendingin. Mereka duduk dengan pandangan menatap satu sama lain. “Denganku. Mala mau Zaki ikut denganku,” lanjut Ali.
“Kenapa malah memilihmu?” Seli bertanya dengan sorot mata yang serius.
“Mungkin karena Mala mengira kalian pembunuh.”
Bachtiar, Rusli, dan Seli kini saling pandang. Tatapan mereka seperti mengisyaratkan tidak terima dengan apa yang dikatakan Ali barusan.
“Kenapa bukan Usman saja kalau begitu?” Seli kembali mengajukan pertanyaan.
“Ah, kau melawak, ya? Lelaki itu lebih-lebih pembunuh! Pokonya Zaki harus ikut denganku.”