MELAWAT

Aldi A.
Chapter #31

DUA PULUH DUA

Ia menanggung luka tersebab dosa-dosa yang sudah terbuka.


KATANYA, anak tangga paling tinggi dari mencintai adalah merelakan atau tetap bertahan tanpa alasan. Dan dengan tanpa alasan itu, seseorang tidak akan bisa memilih meninggalkan. Sekalipun seseorang itu sudah berusaha untuk melupakan. Benarkah? Tapi, bukankah itu sebuah kebodohan?

Ali berjalan gontai di Pantai Losari. Tempat ini tidak pernah gagal menciptakan kenangan: selalu ada rindu yang terbakar, selalu ada sakit yang kian berakar. Banyak hal yang terjadi di sini, tentang Mala, keluarganya, pun tentang pertemuannya dengan Sisil semasa SMA hingga pada saat terakhir kali ia bertemu dengan perempuan itu. Saat mereka akhirnya sama-sama sepakat untuk tidak melanjutkan hubungan mereka.

Ali hanya ingin menikmati setiap kenangan bersama Sisil sebelum pada akhirnya ia akan berjuang untuk melupakan perempuan itu. Bagaimana juga, tidak mudah baginya untuk menghilangkan Sisil secara permanen dari hidupnya. Meski ia yang meminta, tapi tetap saja empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk Ali melupakan begitu saja perihal Sisil.

Setelah pertengkaran hebatnya bersama Bachtiar sebelum ia ke Pantai Losari, Ali merasa sakit di dadanya sudah menjelma borok. Ali seperti kehabisan napas. Ia tak pernah merasa dunianya sehancur ini.

Kematian Romlah dan Mala ternyata tidak ada apa-apanya ketimbang kepergian Sisil. Mungkin karena Sisil adalah tempat membagi luka-lukanya. Kepada perempuan itulah ia menggantungkan harapan untuk hidupnya yang bahagia. Cerita-cerita mengenai keluarganya yang selalu ia bagikan kepada Sisil kini tidak bisa lagi terulang. Sisil telah pergi atas keputusan yang sudah dibuat sendiri oleh Ali.

Sisil menemani Ali dari SMA sampai ia sudah bekerja dengan penuh kesabaran. Meski mungkin pekerjaan Ali jauh dari harapan perempuan itu. Namun, Sisil tidak pernah mengeluh.

Kali pertama Ali memberi tahu Sisil saat ia diterima bekerja sebagai bartender di rumah karaoke keluarga yang ada di Makassar, Sisil sangatlah antusias. Sisil menemani Ali mencari kemeja putih polos berlengan panjang dan celana kain berwarna hitam untuk Ali pakai di hari pertama ia bekerja. Sisil tidak pernah malu bahkan ketika teman-teman kuliahya pergi ke tempat di mana Ali bekerja, Sisil dengan bangga mengenalkan Ali pada teman-temannya itu. Lalu sekarang, setelah apa yang sudah terjadi di antara keduanya, mereka memilih untuk mengakhiri hubungan yang sudah terajut selama empat tahun lamanya.

Ali menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya langsung. Ia merogoh kotak rokok yang ada di saku celananya, mengambil satu batang, membakar, mengisap lamat-lamat, lalu membuangnya dalam satu tiupan. Asap kecil membumbung di sekitar Ali. Melayang-layang.

"Maaf telat, Li. Habis beli makanan dulu untuk adikku sebelum ke sini."

Sehabis meninggalkan Bachtiar di rumah tadi, Ali langsung mengirim pesan kepada Rafi. Hanya ia satu-satunya teman berbagi ceritanya saat ini. Setelah hubungannya dengan Sisil usai, sepertinya Rafi harus siap badan ketika Ali butuh bercerita tentang peliknya masalah hidup.

"Kau baik-baik saja, Brother?" Rafi meninju pelan dadanya. Ia menirukan gaya macho di depan Ali.

Ali tertawa kecil. Salah satu hal yang menyenangkan berteman dengan orang seperti Rafi adalah selalu ada-ada saja yang dibuat oleh lelaki itu untuk mengundang gelak tawa. Rafi humoris meski Ali tahu di dalam hati temannya itu banyak hal terjadi yang kebanyakan sakit dirasanya.

"Semuanya sudah selesai, Raf." Ali memulai bercerita. Beban di hatinya begitu menyesakkan. Ia tak pernah menyangka bahwa kepergian Sisil dari hidupnya benar-benar membuatnya tidak bersemangat bekerja.

"Apa yang selesai, Li?"

"Hubunganku dengan Sisil. Sudah selesai," kata Ali dengan melempar senyum tipisnya. Sesak di dadanya belum juga hilang.

Rafi memerhatikan lekat Ali yang duduk di sampingnya. Ia tak mungkin salah dengar. Bagaimana bisa hubungan Ali dan Sisil selesai begitu saja padahal kemarin lalu mereka masih baik-baik saja. Meski Ali selalu punya ketakutan lebih dari hubungannya itu, tetapi ia dan Sisil masih bisa bertahan di tengah ketakutan-ketakutan yang hadir pada hubungan mereka. Begitu yang Rafi ketahui dari hubungan Ali dan Sisil.

Lihat selengkapnya