Matilah ia dalam dekapan kesepian. Matilah ia dalam raung-raung tangisan.
SETELAH berbicara dengan Rafi, Ali memutuskan untuk menemeui Rusli. Seperti kata Rafi sebelum meninggalkan Pantai Losari, barangkali salah satu cara agar luka-luka ditinggal orang tersayang bisa Ali redakan dalam hidupnya dengan menyelesaikan apa yang masih menjadi tanda tanya di kepalanya.
Ada sesuatu hal yang ingin Ali selesaikan dengan Rusli. Apa pun nanti yang akan terjadi di antara keduanya setelah pembahasan mereka malam ini, Ali tidak mau ambil pusing. Baginya, ia hanya ingin mencari jawaban dari sesuatu hal mengganjal dalam kematian Mala. Dan pertanyaan itu hanya bisa terjawab dari Rusli.
“Ada urusan apa kau ke sini?”
“Kau pernah bertanya apa yang Mala pernah ceritakan padaku semasa hidupnya kan?”
Rusli diam. Ia menelan ludah sekali dua kali.
“Aku tahu soal itu!”
Mata Rusli membesar. Ia akhirnya bertemu juga dengan hari ini. Setelah Mala meninggal, ia selalu menantikan kapan semuanya akan terkuak. Bagaimana pun juga, ia tak akan bisa menutupi semua itu seumur hidupnya. Itu tidak mungkin terjadi. Buktinya, baru dua bulan saja setelah kematian Mala, hidupnya dirundung ketakutan mengenai apa yang ia tutup-tutupi selama ini.
Sebenarnya Rusli sudah curiga kalau Ali pasti sudah tahu rahasinya setelah pertengakaran hebat yang terjadi pada malam takziah ketiga kematian Mala. Tapi, ia tidak mau membeberkan secara langsung, ia menunggu Ali mengatakan sebenarnya kepada dirinya. Dan malam ini, Ali datang untuk itu semua.
“Sudah lama aku tahu semua itu. Mala menceritakan saat ia mendatangi kosku di pagi-pagi buta sekali. Ia kelaparan, ia menangis lantaran diperlakukan tidak baik oleh Usman.” Ali berhenti sejenak. Ia manarik napasnya dalam-dalam. Entah berapa banyak tarikan napas panjang yang ia lakukan belakangan ini, rasanya benar-benar sesak memenuhi dadanya. “Kau beruntung karena Mala masih menahanku untuk memukulimu. Aku ingat bagaimana kau mengata-ngatai Mala sebagai alasan yang membuat keluarga kita malu. Tapi kenapa kau tidak pernah melihat dirimu di depan cermin? Kenapa kau tidak fokus dengan dosa-dosamu saja? Mengapa sulit untuk melihat diri sendiri terlebih dahulu sebelum melihat orang lain? Apa kau melakukan itu semua demi menutupi kebusukan yang sudah kau lakukan?”
Rusli hanya diam mematung. Pandangannya mengarah ke bawah, ke lantai rumahnya. Ia tentu saja malu melihat wajah Ali sekarang. Ia malu atas apa yang sudah ia lakukan di masa lalu. Malam ini, Ali seperti melempar kotoran hewan di wajah Rusli.