MELAYANG

Sri Wahyuni Nababan
Chapter #2

Hayalan Jadi Nyata



Masih pada hari yang sama, Nida menempelkan bintangnya ke dinding kamar dengan perekat. Meski tidak rapi, tetapi dia suka dengan hadiah dari ibu gurunya. Selama ini, itulah yang diinginkan. Tiada yang tahu keinginan bocah itu.


"Papa ... Papa udah makan belum?" tanya Nida dengan membawa kertas kosong dan pensil warna.


"Emang kalau belum makan, kenapa?" Papanya kembali bertanya. "Pergi main sana, Papa lagi sibuk, ih."


"Tapi aku mau main sama Papa," rengek Nida, sembari menghentakkan kakinya sebelah.


Bukannya menyahut ucapan putrinya, malah pergi ke kamar dan mengunci pintunya agar Nida tidak menggangu. Merekalah orang tua aneh sebenarnya. Masa anak sekecil itu diabaikan permintaannya, seperti anak tiri saja.


Nida yang belum terpenuhi keinginannya, pergi ke bawah meja sekolah milik papanya untuk bersembunyi melakukan hal seperti biasa.


"Hai, teman. Kita ketemu lagi. Kangen nggak sama Nida," ucapnya pada sebatang lidi yang pendek. Dimainkan dengan cara dipegang.


"Iya, nih, aku kangen kamu, Nida. Ke mana aja, sih?" balasnya lagi dengan suara berbeda.


"Aku nggak ke mana-mana, kok. Eh, kita main kejar-kejaran, yuk. Nanti kita larinya ke jalanan, ya."


"Iya, deh. Terus kamu yang ketabrak motor. Tapi nanti mamamu nggak sedih."


"Iya, kan? Kok, mama gitu, ya, samaku?"


"Nggak sayang kali. Kan, kamu suka aneh. Malah bisa nerawang lagi."


"Itu bukan salah aku, tapi Tuhan yang sudah bikin aku begini."


"Udah, jangan sedih lagi. Kamu harus kuat. Kan, ada aku temanmu."


Begitulah setiap hari tingkah Nida, berbicara sendiri tanpa ada lawan bicara bersamanya. Keanehan itu berhasil membuat keluarganya menaruh benci. Banyak lagi yang dia bicarakan dengan dirinya sendiri, seolah ada orang di sana.


"Aduh, sakit, Bang," lirihnya, benda yang dia pegang sengaja ditendang oleh si kutu buku.


"Anak teraneh sejagad raya. Kenapa, ya, ada orang, kek, kau. Waktu mama menghamilkanmu, makan apa, ya?"


"Emangnya, aku kenapa? Aku gila? Bisa nggak, sih, Abang sayang samaku?" Nida menangis.


"Apa? Sayang?! Ha-ha-ha, mimpi apa aku bisa sayang sama kau. Malah sial nanti," pekiknya. "Oya, kau bukan hanya gila, tapi juga dungu, goblok, dan setres!"


Kata-kata itu dikeluarkan Kevin tanpa mengenal perasaan. Sering didengar Nida makian itu, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis. Usia tujuh tahun sudah mendapatkan hinaan dari keluarganya sejak usia lima tahunan.

Lihat selengkapnya