"Awas kamu di rumah, ya!" Mamanya komat-kamit tanpa membuka mulut dengan lebar. Giginya juga rapat saat bicara pada Nida. Dia geram karena terus dibelain oleh perawat.
Nida semakin tidak yakin untuk pulang. Melihat raut wajah mamanya yang galak, dia berniat untuk melakukan sesuatu. Namun, belum tahu apa yang harus dilakukan. Baginya keluarga adalah tempat terburuk, rumah bagaikan neraka. Tidak ada satu pun yang rela memberikan kasih sayang tulus untuknya. Seperti hidup sebatang kara, tinggal di kerajaan mewah, tapi menderita.
Nida menjadi anak ternakal bila orang sekitar melihat sikapnya yang suka membantah. Namun, bila mereka tahu yang sesungguhnya, maka Nidalah yang terlihat seperti permata di dasar lautan.
Mamanya Nida berpamitan pada para perawat dan dokter yang hadir di meja mereka bertugas. Akhirnya, bocah itu berhasil dibawa pulang oleh wanita yang melahirkannya. Batin Nida mulai was-was. Karena tidak ingin terlihat ketakutan, wajahnya menoleh ke bawah seolah memerhatikan langkah kaki.
Kendaraan yang membawa mereka adalah roda tiga. Ini sangat jarang terjadi. Biasanya juga mobil menjadi kendaraan andalan keluarga itu. Kini berbeda dan membuat heran.
"Ma, kok, naik bentor? Emang mana papa?" Nida membuka percakapan.
"Papamu sibuk. Ini aja mama males jemputnya kalau nggak terpaksa. Orang rumah sakit nggak ada sopan!" marahnya, pada perawat-perawat di depan Nida.
"Dila dan abang di rumah?"
"Iyalah, di mana lagi mereka. Kalau bukan di rumah. Kamu aja yang cari perhatian sakitnya. Kek, Mama nggak ada kerjaan aja kamu buat."
"Ma, besok kita ke mall, yuk," ajaknya.
"Mall, mall. Nggak ada mall-mallan lagi. Mending kamu belajar aja. Biar pinter."
"A-aku--"
"Sssstt, Mama males dengerinnya. Udah, diem!"
Tukang bentor itu berkali-kali menggelengkan kepalanya. Karena mendengar kalimat seorang ibu yang tidak punya hati pada anaknya dalam berbicara.
Sampailah di rumah mereka, mamanya terlebih dahulu turun. Membayar ongkos bentor, lalu menuju pintu masuk tanpa menyambut kepulangan putrinya. Wanita itu malah meneriaki abang dan adik Nida dengan suara mendayu. Sehingga keduanya datang menghampiri dengan senyuman mengembang.
Saat melihat Nida di atas kendaraan roda tiga itu, mereka memasang wajah bengis. Sama sekali tidak mengharapkan saudaranya sembuh seperti sedia kala. Terutama si kutu buku, paling anti sama Nida yang sering disebut sebagai anak sial.
Nida belum juga turun, pikirannya masih saja berada di rumah sakit. Hanya tubuhnya yang sudah pulang ke rumah, sementara jiwanya masih tertinggal dan asyik bercanda dengan para perawat jaga.
"Nak, turunlah. Sudah nyampe, lho," tegur tukang bentor.
Sedikit pun Nida tidak menghiraukan ucapan itu. Matanya malah tertuju pada satu pandangan kosong. Tidak berkedip walau berulang kali dipanggil.
"Nak, melamun, ya?" tanyanya lagi, sembari memegang pundak Nida agar tersadar.
"Eh, iya, Oom. Apa?" Nida bengong.